09 May 2025

Silindik Basangkak Batu

Muhammad Nasir

Pengamat  Burung

                    Silindik basangkak batu,
                    sangkak tasangkuik di batang palam,
                    takikik galak urang nan tahu,
                    galak tabasuik urang nan paham

 

  Dulu waktu saya Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Kabupaten Pasaman saya sangat sering mendengar kicauan burung Silindik. Saya KKN di Desa Salibawan Mapun di Kecamatan Lubuk Sikaping, Kabupaten Pasaman, tahun 1999. Desa itu terletak di pertengahan jalan raya Lubuk Sikaping–Rao. Saya mendapat posko di dusun daerah Mapun, beberapa kilo dari jalan raya. Untuk sampai ke Mapun saya harus melewati jembatan gantung yang disebut oleh masyarakat setempat dengan "rajang atau rojang".

Tetapi yang menarik bukan rajangnya yang panjang melintasi sungai Batang Sumpu. Tetapi suara kicauan burung yang kemudian saya tahu sebagai burung Silindik (serindit). Dan, ternyata bagaimana saya melewati rajang itu hampir mirip dengan gaya burung Silindik itu: bergoyang-goyang dan kadang sedikit merangkak pada bagian yang sedikit menegangkan.

        Dari situlah saya mulai memperhatikan lebih serius si burung Silindik (loriculus). Burung kecil berwarna hijau terang ini memiliki semburat merah di bagian kepala atau leher, tergantung spesiesnya. Suaranya yang nyaring dan ritmenya yang khas menjadi penanda kehadirannya, walau tubuhnya kecil dan sering luput dari pandangan. Ia biasa hidup berpasangan atau dalam kelompok kecil, beterbangan dari satu dahan ke dahan lain di hutan tropis dataran rendah hingga ke pohon-pohon dekat pemukiman. Keunikannya tak hanya pada suara, tapi juga sifatnya yang aktif, gesit, dan setia kawan.

Silindik sangat menyukai buah-buahan, terutama ara dan mangga matang. Saat menemukan pohon yang lebat buahnya, ia akan kembali berulang kali, bahkan mengajak burung lain. Ia cenderung menetap di kawasan yang dianggapnya aman dan nyaman, dan hanya pergi jika ada gangguan besar. Burung ini juga dikenal memiliki “suara peringatan” saat merasa terancam, yang memicu kewaspadaan burung lain.

Yang menarik, Silindik tidak agresif tapi juga bukan penakut. Ia tahu kapan bersembunyi dan kapan muncul. Geraknya lincah di udara, sulit ditangkap meski bermain di pohon-pohon sekitar rumah. Ia cerdas mencari tempat hinggap aman, tampak seperti selalu “berstrategi” dengan naluri tajam. Karena sering berinteraksi, Silindik terlihat memiliki rasa kolektivitas yang kuat: saling memanggil, menunggu, bahkan seolah berdiskusi sebelum terbang bersama.

Di Dusun Mapun, saya akhirnya melihat Silindik dari dekat. Tapi sudah dalam sangkar. Sangkar unik itu menyerupai tabung bulat telur yang digantung horizontal, terbuat dari bilah bambu yang diraut halus. Desainnya indah dan fungsional. Di dalamnya, seekor Silindik kecil bersinar dengan warna hijaunya yang mencolok. Meski terkurung, ia tampak tetap lincah dan bermain seperti biasa.

Hal yang membuat saya tertegun adalah caranya bergerak dalam sangkar. Ia tidak tampak stres atau pasrah seperti burung baru ditangkap. Justru seolah menikmati ruangnya. Ia berputar, hinggap, lalu melompat ringan ke sisi lain. Bilah-bilah bambu menjadi semacam labirin yang terus mengaktifkan tubuhnya. Kadang ia tidur dalam posisi terbalik, seperti kelelawar kecil, menggantung dan memejamkan mata, pemandangan ganjil sekaligus memukau, seolah ia sendiri yang memilih cara istirahatnya.

Kegembiraan kecil Silindik dalam sangkar itu membuat saya berpikir bahwa mungkin ia tak merasa dikurung sepenuhnya. Atau, ia adalah makhluk yang cepat menyesuaikan diri. Ia tetap berkicau, merawat bulu, dan sesekali menyapa dunia luar dengan lirikan matanya yang tajam. Sangkar yang membatasi langkahnya tak memadamkan vitalitasnya.

Saya juga perhatikan, Silindik tak mudah terkejut. Ketika didekati, ia tak panik membentur jeruji. Ia hanya bergeser sedikit, tetap menatap, seolah mencoba mengenali sebelum bereaksi. Sikapnya ini membuat banyak orang merasa sedang berhadapan dengan makhluk yang tenang dan bijak, bukan burung liar yang terkurung.

Beberapa warga percaya bahwa Silindik adalah burung yang “tahu diri”: tak sembarangan berkicau, tak membuang tenaga sia-sia. Saat pagi, ia menyambut matahari dengan nyanyian, lalu tenang di siang terik, dan kembali aktif menjelang sore. Saat diberi makan, ia tidak rakus, hanya mematuk perlahan, seakan tahu waktunya makan.

Begitulah Silindik dalam sangkar. Tetap indah, lincah, dan punya dunia kecil sendiri. Ia tak berubah menjadi makhluk duka, malah menunjukkan daya adaptasi yang luar biasa. Dalam ruang sempit, ia menciptakan ruang geraknya sendiri. Lengkung bambu bukan pagar, tapi jalur untuk terus bergerak, tidur, bermain, dan berkicau. Sebuah kehidupan kecil yang tetap berwarna, meski tak lagi bebas di dahan hutan.

Namun dalam bentuknya yang menyedihkan, Silindik dalam sangkar juga bisa dilihat sebagai ornamen. Ia menjadi bagian dari dekorasi rumah besar bernama kekuasaan, digantung di sudut beranda sebagai hiasan bunyi saat tamu datang. Ia bersuara ketika diminta, diam ketika disuruh. Tampak sibuk, tapi tak ke mana-mana. Terlihat berdaya, padahal sekadar bagian dari tata letak. Bahkan suara nyaringnya bisa menjadi pengalih dari kebusukan di balik dinding rumah.

 

Ketika dilepas liar

Mungkin karena jumlahnya yang cukup banyak, orang-orang Mapun sering melepasliar Silindik bila ada gejala yang mengkhawatirkan. Misalnya, meminjam lirik lagu Perjalanan Franky and Jane (1978) “gejala sakit yang tak terobati.” Silindik kemudian dilepaskan ke alam liar, dengan harapan ia dapat menemukan obatnya sendiri, atau alam akan menjadi dukun yang akan memulihkan penderitaan Silindik. Kata orang Mapun, “biasanya, ia akan sembuh di alam, dan akan kemali lagi setelah pulih.”

 Itulah bagian yang paling menarik adalah ketika Silindik dilepaskan ke alam bebas. Burung kecil yang tampak lemah gemulai ketika sakit di sangkar, namun kembali tenang, lentur menjadi makhluk yang Kembali sangat hidup. Ia terbang cepat, zigzag di antara pepohonan, seperti sedang merayakan kembali ruang tanpa batas yang kini terbuka di hadapannya. Tapi ia tidak langsung pergi jauh. Justru, banyak Silindik yang dilepas setelah lama dalam sangkar akan tetap berputar-putar di sekitar rumah, seakan ingin berpamitan atau menandai bahwa ia belum sepenuhnya ingin meninggalkan tempat yang pernah menjadi rumahnya.

Ia sama sekali tidak menunjukkan trauma atau ketakutan. Ia seperti burung yang telah menyerap dua dunia; dunia dalam sangkar dan dunia di lar sana. Dan kini tahu bagaimana hidup di antaranya. Saat dilepas, Silindik bukan burung yang kebingungan atau panik mencari arah. Ia tampak tahu ke mana harus pergi, dan kapan harus kembali. Kadang, burung itu justru hinggap sebentar di atap rumah atau dahan dekat jendela, memperhatikan sekeliling dengan tatapan siaga, sebelum akhirnya terbang lebih jauh, menyelinap di balik semak atau pucuk bambu.

Dalam pengamatan orang-orang yang gemar memelihara Silindik, burung ini termasuk yang setia pada wilayahnya. Jika ia merasa nyaman dengan satu lingkungan, besar kemungkinan ia akan kembali, atau minimal berputar-putar di kawasan yang sama. Itulah mengapa banyak pemilik burung Silindik yang sengaja membiarkan pintu sangkar terbuka setelah sekian waktu, sebagai bentuk ‘percobaan’ apakah Silindik yang mereka pelihara akan kabur atau tetap kembali. Dan seringkali, Silindik kembali, atau minimal tetap berkeliaran di tempat yang sama. Keputusan untuk menetap atau pergi seolah menjadi hak penuh si burung, dan manusia hanya bisa menunggu dengan harap-harap cemas.

Yang lebih mencengangkan lagi, Silindik yang terbiasa dilepas-liar kadang menunjukkan kecerdasan sosial. Ia datang di waktu yang kira-kira sesuai, tidak mengganggu, dan bahkan kadang menyapa dengan kicauan pendek sebelum bertengger di dahan yang biasa ia kunjungi. Kesan bahwa ia “mengetahui waktu” dan “mengenali tempat” membuat Silindik punya tempat tersendiri di hati banyak orang tua di kampung. Mereka menyebutnya sebagai burung yang tahu adat, tahu kapan bersuara, tahu kapan diam.

Dalam dunia yang luas, Silindik memang tidak bisa disebut sebagai burung yang hebat secara fisik. Ia kecil, tak bersenjata, dan mudah diserang predator. Namun justru karena itu, ia mengembangkan cara bertahan hidup yang lebih halus dengan kelincahan, dengan sinyal-sinyal suara, dengan kebiasaan mengenali tempat dan waktu. Ia bukan penakluk wilayah, tapi penjaga harmoni. Ia hidup bukan dengan menantang, tapi dengan menyesuaikan diri, sambil tetap menjadi dirinya sendiri: lincah, nyaring, dan cantik.

Dari sangkar hingga hutan, dari bilah bambu hingga ranting bebas, Silindik menunjukkan konsistensi dalam satu hal: ia adalah burung yang tahu bagaimana menyesuaikan diri dengan ruangnya, namun tidak kehilangan esensinya. Ia tetap Silindik, entah terkurung atau dilepaskan. Dan itulah yang membuatnya istimewa. Yang satu membentuk ruang makna dalam keterbatasan, yang lain justru menikmati ruang terbatas sebagai zona nyaman, menghindar dari ujian di luar sangkar. Burung hias, bukan penjaga harmoni.

Ketika Silindik dilepas ke hutan dan ia kembali dengan sukarela, di sanalah makna dirinya diuji. Apakah ia kembali karena cinta pada tempat, atau karena takut pada luasnya dunia? Apakah ia tetap bersuara karena punya pesan, atau karena sudah dilatih untuk berkicau saja? Ibarat pemimpin sejati, sepertinya Silindik yang cerdas, tahu bahwa sangkar bisa menjadi tempat singgah, bukan tempat tinggal abadi. Ia tahu kapan harus kembali ke hutan, dan kapan harus kembali ke rumah tanpa kehilangan siapa dirinya.

Maka dalam masyarakat Mapun-Salibawan yang paham simbol, Silindik bukan hanya burung. Ia adalah alegori hidup tentang bagaimana seharusnya pemimpin bergerak di antara ruang kuasa dan ruang publik. Ia bukan burung gagah, bukan elang penjaga langit. Tapi dalam tubuh kecilnya, tersimpan pelajaran besar: tentang setia, tentang suara, tentang tahu waktu, dan tentang cara menjadi pemimpin tanpa harus menaklukkan, cukup dengan memahami irama dan menjaga keseimbangan.

 

Duapuluh Enam Tahun Kemudian..

Hari ini, setelah 26 tahun kemudian, saya melihat burung ini lagi di kedai Poultry Shop di daerah Kubu, Marapalam Kota Padang. Saya hanya membeli pakan ikan. Tetapi, karena di sana juga menjual aneka burung berkicau, burung hias serta aneka ungags, saya memilih nongkrong lebih lama. Menghilangkan stress dari kerja rutinitas yang makin lama makin menjemukan. Saat itulah saya mendengar kicauan Silindik, yang semula saya kira kicauan burung lovebird.

“Ini jantan dan ini yang betina,” kata bapak pemilik kedai itu. Saya langsung menanyakan, apa perbedaannya selain jenis kelamin. Bapak itu menjawab, “yang jantan lebih atraktif dan berbunyi nyaring. Lebih senang berinteraksi dengan manusia.” Yang betina, “sepertinya ia lebih senang merawat bulu dan berbunyi bila sedang terganggu,” terang bapak itu.  

Aih, yang jelas, bacalah tulisan ini dengan benar, tak perlu pula pikiran anda travelling ke mana-mana.  Apalagi pasaran kini sedang panas. [09/05/2025]


 

 

No comments: