07 May 2025

Romansa Padepokan Silat dalam Komik 1980'an

Muhammad Nasir

Pembaca Komik di Pasar Raya Padang akhir abad ke-20


Padepokan adalah pusat ilmu bela diri yang menjadi jantung cerita rakyat dan komik silat Indonesia era 1980-an. Dalam kisah-kisah epik seperti Jaka Sembung karya Djair Warni atau Panji Tengkorak karya Hans Jaladara, padepokan sering menjadi sasaran penyerangan, baik oleh padepokan saingan yang haus ilmu sakti maupun oleh pasukan kerajaan yang khawatir akan munculnya pemberontakan. Dengan latar Jawa abad ke-11 hingga 14, masa kejayaan kerajaan Hindu-Buddha seperti Kediri, Singhasari, dan Majapahit, cerita-cerita ini memadukan romantisme dunia persilatan dengan dinamika sejarah. Namun, apa konteks sejarah di balik narasi penyerangan padepokan ini? Apakah padepokan benar-benar menjadi ancaman bagi kerajaan, atau ini sekadar drama fiksi yang memikat hati pembaca?



Padepokan: Simbol Darma dan Kekuatan
Dalam imajinasi masyarakat Jawa, padepokan bukan sekadar tempat belajar jurus silat, tetapi ruang suci di mana pendekar diasah dalam teknik bertarung sekaligus nilai-nilai darma (kebajikan), keberanian, dan kesetiaan. Guru besar, yang digambarkan sebagai sosok sakti dengan karisma luar biasa, menjadi pusat komunitas ini, dengan murid-murid yang terikat oleh ikatan batin. Dalam komik silat, padepokan sering menjadi benteng kebenaran, tempat pendekar melawan ketidakadilan, entah dari penutut ilmu hitam atau raja yang korup (Warni, 1982).

Secara budaya, padepokan mencerminkan tradisi pencak silat, seni bela diri Nusantara yang menggabungkan dimensi fisik, spiritual, dan pengamatan alam. Menurut penelitian, pencak silat tidak hanya mengajarkan teknik bertarung, tetapi juga membentuk karakter melalui nilai-nilai seperti kesetiaan dan keadilan (Maryono, 2015, hlm. 45). Padepokan, dalam cerita rakyat, menjadi simbol komunitas yang menjaga warisan ini. Namun, karena kekuatan dan kemandiriannya, padepokan sering digambarkan sebagai ancaman, baik oleh padepokan lain maupun oleh kerajaan yang curiga terhadap potensi pemberontakan.
Perang Antar-Padepokan: Perebutan Ilmu dan Kehormatan
Salah satu trope populer dalam komik silat adalah perang antar-padepokan, di mana sebuah padepokan diserang karena menyimpan rahasia jurus sakti, pusaka ampuh, atau ilmu spiritual tingkat tinggi. Pertarungan epik pun meletus, menampilkan jurus-jurus seperti Harimau Putih atau Ular Sanca yang memukau pembaca (Jaladara, 1980). Konflik ini sering melambangkan perebutan supremasi dalam dunia persilatan, di mana kehormatan dan nama besar padepokan dipertaruhkan.

Narasi ini memiliki akar dalam tradisi lisan pencak silat. Cerita rakyat, seperti yang tercatat dalam 100 Cerita Rakyat Nusantara, sering mengisahkan pendekar yang mengembara untuk menguji ilmu atau mempertahankan martabat perguruannya (Kemdikbud, 2017, hlm. 72). Namun, secara sejarah, tidak ada catatan spesifik dari abad ke-11 hingga 14 yang menyebutkan perang antar-padepokan silat. Pencak silat pada masa itu kemungkinan masih dalam tahap awal, diajarkan secara lisan di kalangan prajurit atau komunitas lokal (Notosoejitno, 1997, hlm. 23).

Padepokan dalam cerita lebih merupakan konstruksi modern, terinspirasi oleh perguruan bela diri tradisional seperti Cimande, yang konon berasal dari abad ke-18 tetapi sering dikaitkan dengan tradisi lebih tua.

Konflik antar-padepokan juga mencerminkan dinamika sosial Jawa. Dalam Nagarakretagama, disebutkan adanya komunitas lokal (wanua) yang memiliki otonomi tertentu, yang kadang-kadang berselisih dengan pusat kekuasaan (Mpu Prapanca, 1365, pupuh 13). Perang antar-padepokan dalam fiksi bisa dilihat sebagai metafora untuk persaingan semacam ini, yang diromantisasi dengan aksi bela diri dan nilai-nilai kepahlawanan.
Cerita tentang Ancaman dari Istana
Lebih dramatis lagi adalah cerita di mana kerajaan menyerang padepokan karena dicurigai sebagai sarang oposisi. Dalam Jaka Sembung, pasukan kerajaan sering mengepung padepokan, takut akan kekuatan ilmu silat atau popularitas guru besar yang bisa memobilisasi rakyat (Warni, 1982). Narasi ini menempatkan padepokan sebagai simbol perlawanan rakyat melawan kekuasaan yang korup, sebuah tema yang resonan dengan semangat anti-otoritas di Indonesia modern.

Secara sejarah, periode abad ke-11 hingga 14 penuh dengan ketegangan politik. Kitab Pararaton mencatat pemberontakan seperti Ranggalawe melawan Majapahit pada awal abad ke-14 atau Ken Arok melawan Kediri pada abad ke-13, yang menunjukkan bahwa kerajaan sering menghadapi ancaman dari bangsawan atau pemimpin lokal dengan pasukan bersenjata (Zoetmulder, 1974, hlm. 89). Padepokan dalam cerita fiksi bisa dianggap sebagai representasi kelompok-kelompok lokal yang memiliki kemampuan militer dan pengaruh sosial, seperti komunitas agama atau prajurit independen. Jika sebuah padepokan memiliki guru karismatik dan murid-murid bersenjata, wajar jika kerajaan melihatnya sebagai ancaman, terutama di masa krisis politik.

Namun, catatan sejarah seperti Nagarakretagama tidak menyebutkan penyerangan terhadap padepokan silat secara eksplisit (Mpu Prapanca, 1365). Pencak silat pada masa itu kemungkinan diajarkan dalam konteks militer kerajaan, seperti di kalangan Bhayangkara (pasukan elit Majapahit), atau di komunitas lokal yang terintegrasi dengan struktur kerajaan (Slametmuljana, 1976, hlm. 112). Konsep padepokan sebagai entitas semi-otonom yang menentang raja lebih merupakan interpretasi modern, dipengaruhi oleh tradisi lisan dan romantisme dunia persilatan. Dalam komik 1980-an, narasi ini diperkuat oleh pengaruh genre wuxia Tionghoa, seperti karya Kho Ping Hoo, yang menonjolkan konflik antara pendekar dan otoritas (Kho Ping Hoo, 1980, hlm. 45).
Cerminan Realitas dalam Fiksi
Meski penuh drama, cerita tentang penyerangan padepokan tidak sepenuhnya fiktif. Mereka mencerminkan realitas sejarah di mana kerajaan Jawa harus menjaga stabilitas di tengah ancaman pemberontakan dan persaingan lokal. Padepokan, sebagai pusat ilmu bela diri dan nilai-nilai darma, menjadi simbol komunitas yang kuat dan mandiri, yang dalam imajinasi rakyat bisa menjadi benteng perlawanan. Komik silat 1980-an, dengan tokoh-tokoh seperti Jaka Sembung atau Panji Tengkorak, mengambil inspirasi dari legenda pendekar seperti Prabu Siliwangi atau Gajah Mada, lalu membumbuinya dengan jurus-jurus sakti dan konflik epik (Jaladara, 1980).
Namun, komik dan cerita rakyat ini lebih mengutamakan hiburan daripada akurasi sejarah. Padepokan sering dilebih-lebihkan sebagai tempat magis, lengkap dengan ilmu kebal atau jurus maut, yang jauh dari realitas sejarah (Maryono, 2015, hlm. 67). Meski begitu, mereka berhasil menangkap semangat budaya Jawa: nilai-nilai satria, perjuangan melawan ketidakadilan, dan kebanggaan akan warisan pencak silat.
Warisan yang Hidup
Hingga kini, cerita tentang padepokan tetap memikat, baik dalam komik lawas maupun adaptasi modern. Mereka mengingatkan kita pada kekayaan tradisi pencak silat, yang kini diakui UNESCO sebagai warisan budaya takbenda (UNESCO, 2019). Padepokan, entah dalam fiksi atau kenyataan, adalah cerminan jiwa Nusantara: tempat di mana keberanian, kebijaksanaan, dan keadilan dijaga, meski di bawah ancaman pedang atau intrik istana. Di balik setiap jurus dan pertarungan, ada kisah tentang manusia yang berjuang untuk mempertahankan darma—dan itulah yang membuat cerita ini abadi.

Daftar Pustaka:

Jaladara, Hans. (1980). Panji Tengkorak. Jakarta: Penerbit Maranatha

Kemdikbud. (2017). 100 Cerita Rakyat Nusantara. Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan.

Kho Ping Hoo. (1980). Darah Mengalir di Borobudur. Jakarta: Penerbit Wulan.

Maryono, O’ong. (2015). Pencak Silat: Tradisi dan Budaya Bangsa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Mpu Prapanca. (1365). Nagarakretagama. Terjemahan oleh Slametmuljana (1976). Jakarta: Bhratara.

Notosoejitno. (1997). Pencak Silat: Seni Bela Diri Nusantara. Bandung: Penerbit Alumni.

Slametmuljana. (1976). Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara. Jakarta: Bhratara.

UNESCO. (2019). Pencak Silat as Intangible Cultural Heritage. Diakses dari https://ich.unesco.org.

Warni, Djair. (1982). Jaka Sembung. Jakarta: Penerbit Grafiti.

Zoetmuljana, P.J. (1974). Pararaton: A Study of the Old Javanese Chronicle. The Hague: Martinus Nijhoff.

No comments: