09 May 2025

Upward Effect Burung Pipit

Oleh: Muhammad Nasir

              

Dalam percaya diri yang berlebihan, kita bisa menjadi bagian dari kekerasan

Seekor burung pipit terbang tinggi di atas awan. itu penerbangan paling penting dalam sejarah hidupnya. Ketika ia merasa dirinya seperti seekor elang. Tidak ada keraguan, hanya keheningan dan keyakinan yang dibangun dari imajinasi tentang dirinya sendiri. Dalam penerbangan itu, ia bertemu seekor burung besar. Mereka terbang beriringan, tanpa tegur sapa. Masing-masing hanyut dalam pikirannya sendiri.

 

Angin mulai kencang. Pipit mulai sesak napasnya. Tapi ia berusaha tenang. Ia ingat ucapan Tan Kari, filosof multidimensi: semakin tinggi pohon, semakin kencang terpaan angin. Burung besar itu melirik. Wajah pipit tampak lelah dan cemas. Tapi burung besar itu pura-pura tidak tahu. Ia pun membuka percakapan;

 

"Hei, burung cantik, siapa namamu?"

"Saya elang," jawab pipit mantap.

"Mau ke mana?" tanta burung besar itu lagi.

"Tak ada. Sekadar memantau wilayahku. Perjalanan dinas biasa" jawab pipit, suaranya terputus-putus ditiup angin. "...dan mencari area selera yang viral. Katanya, ada ayam muda blasteran Hongkong dan Kamboja." terang pipit dengan sedikitb jumawa.

 

Burung besar melirik sejenak, lalu bertanya lagi, "Kalau begitu, kau pasti tahu di mana padi mulai menguning?"

 

"Tentu saja tahu. Padi itu makananku sehari-hari," jawab pipit.

"Baik. Maukah kau antar aku ke sana? Nanti aku beri seekor ayam muda." lanjut burung besar itu.

 

Pipit setuju. Mereka menukik bersama ke arah persawahan yang mulai menguning. Pipit hinggap di tangkai padi yang merunduk, lalu mulai menikmati bulir-bulir padi. Burung besar itu menepati janji. Seekor ayam muda sedang mencicipi padi di tepi pematang. Tanpa banyak usaha, ia jadi incaran. Sekejap saja ia sudah ada di cengkaraman burung besar.

 

Pipit mendengar suara gaduh. Anak-anak ayam panik, induknya berteriak, "Awas, ada elang! Berlindung!"

 

Pipit menatap bangkai ayam muda itu. Masih hangat. Tetapi burung besar sudah terbang tinggi, menghilang di balik awan.

 

Ia kembali melanjutkan makannya. Diam. Tidak lagi merasa tenag. Setiap ia menelan butiran padi, ia selalu terngiang, “awas ada elang!”

***

 

Cerita di atas mungkin tak lebih hanya dongeng kecil saja. Karangan yang terlintas begitu saja, setelah mendengar lirik lagu “Elang” dari Dewa 19 yang popular tahun 1999. Lagu yang mengekspresikan kerinduan akan kebebasan dan cinta yang tak terbalas. Entah iya, entah tidak. Itu menurut saya saja. Tapi di dalam cerita yang saya reka ini, saya ingin menyampaikan sebuah peta keadaan yang lebih luas dari sekadar dunia unggas.


Pipit adalah rakyat kecil yang ingin terbang tinggi dengan mengenakan jubah kekuasaan. Ia tidak cukup kuat, tidak cukup siap, tapi cukup percaya diri. Elang, sebagaimana lazimnya dalam narasi kekuasaan, adalah figur kuasa yang tidak pernah benar-benar butuh kawan, tapi sangat lihai memilih alat. Begitulah kira-kira.


Tetapi di zaman di mana halusinasi bisa dikemas menjadi narasi ini, kisah seekor pipit bisa tampil seperti elang di dunia maya. Pipit yang tak punya cakar, tapi merasa bisa ikut mencakar. Yang tak punya sayap kuat, bisa menumpang badai opini. Tapi tetap saja, ketinggian bukan hanya soal kemauan, tapi juga daya tahan. 


Ayam muda adalah rakyat biasa. Tak tahu menahu soal permainan di udara. Ia menjadi korban dari kesepakatan yang tak pernah ia dengar. Ia dibayar untuk kepercayaan yang tak pernah ia jual. Ia hilang dalam kebisingan yang tak sempat ia ikuti. Sementara, induk ayam mewakili mereka yang kenyang pengalaman, tapi kadang tak berdaya juga menghadapi kenyataan yang datang tiba-tiba. mengasuh mereka yang belum berpengalaman, adalah tantangan nyata.   

 

Dalam lanskap politik kita, buzzer dan opini liar berperan seperti pipit: mereka mencari posisi, ingin dianggap tinggi, ikut dalam narasi besar, tapi tak sadar sedang menjadi petunjuk jalan bagi kekuasaan yang tak pernah berniat berbagi. Dan rakyat? Mereka ada di pematang. Menjadi korban yang dibungkus dengan narasi pembangunan dan hadiah-hadiah kecil. Induk ayam, kadang-kadang hanya bisa mengelus dada pada saat peringatan tidak dapat diterima sebagai sebuah nasehat.

 

Saya jadi ingat kutipan tulisan Friedrich Nietzsche (1878). Kira kira, ia mengatakan "keyakinan palsu adalah musuh yang lebih berbahaya bagi kebenaran daripada kebohongan." Pipit yang mencoba meyakini dirinya sebagai elang, dan keyakinan palsunya itu memang cukup untuk membawanya ikut terbang tinggi. Tetapi itu ternyata tidak cukup untuk menyelamatkannya dari realitas, sesak napas dan keadaan yang dipaksa-paksakan, menghejan-hejan tuah. 


Mungkin induk pipit juga pernah mengingatkan, bahwa "bohong jika ada pipit yang mengaku dapat menjadi elang dengan segala kualitasnya." Tetapi nasihat dan peringat seperti ini mana mempan bagi mereka yang dikuasai halusinasi dan diopok-opok oleh keyakinan palsu.

 

Mungkin dalam kalam konteks kekuasaan, gaya pipit itu serupa dengan keadaan yang sering tersua. Seseorang kadang memang butuh usaha dan semangat untuk naik, tetapi ia lupa menyiapkan kesadaran akan posisi. Mungkin ia Bahagia dengan keadaan itu, tetapi mungkin kebahagiaan itu palsu. Karena, kebahagian itu bukan semata perasaan saja, tetapi tentu saja berakar dari keadaan yang nyata.

 

Inilah mungin maksud perkataan Bung Hatta. "Indonesia merdeka bukan tujuan akhir kita. Indonesia merdeka hanya syarat untuk bisa mencapai kebahagiaan dan kemakmuran rakyat." Kemerdekaan adalah jembatan emas, bukan tempat tinggal, tapi jalan untuk dilewati dengan sadar dan bijak. Mencermati kata Bung Hatta ini, bahwa apa yang sebenar nyata dari kebahagiaan itu adalah kemakmuran yang nyata, bukan halusinasi.

 

Di lapisan masyarakat, banyak pipit yang dibujuk menjadi pemandu oleh burung besar. Mereka diberi panggung, dibayar dengan eksistensi, bahkan diberi upah materi. Tapi yang sesungguhnya terjadi: mereka mengantar burung kuasa menuju mangsa. Sesudah itu, mereka kembali makan padi, kadang lebih sedikit dari sebelumnya.

 

Cerita ini bukan untuk menyindir siapa-siapa. Tapi untuk mengingatkan, bahwa dalam politik, keinginan untuk terbang tinggi tanpa sadar diri sering kali membawa kita menjadi kaki dari peristiwa yang tak kita kendalikan. Dalam diam, kita bisa menjadi alat. Dalam percaya diri yang berlebihan, kita bisa menjadi bagian dari kekerasan.

 

Sebab kekuasaan, sebagaimana elang dalam cerita, tak pernah benar-benar ingin ditemani. Ia hanya ingin diarahkan, lalu meninggalkan jejak yang sunyi: bangkai ayam muda, dan seekor pipit yang akhirnya hanya makan padi, dengan rasa yang tak lagi sama.

 

Artinya, elang sejati takkan menyuruh pipit untuk berburu, sebab ia tahu poisisi, bahwa yang kuat sebenarnya tak butuh perantara; tetapi kadang yang lemah bagi elang hanya dibutuhkan sebagai alat. Agar kekuasaan terlihat lebih epic dan dramatis.

[90/05/2025]

 

No comments: