17 May 2025

TIKUS KOTA

Cerpen Muhammad Nasir


"Selain dikenal sebagai aktivis, ia juga dikenal sebagai seorang rakus. Tapi, saya melihat aktivismenya itu karena kerakusan, seperti aktifnya hewan nocturnal di malam hari," ujarnya.

Kalimat itu diucapkan lelaki pemilik lapau kopi di pinggiran Banjir Kanal. Senja mulai turun dan aroma kopi hitamnya mengalahkan bau anyir sungai. Sore itu, seperti sore-sore lainnya di kota ini, terasa berat dan lengang. Udara terasa diam, seperti menyimpan perasaannya sendiri.

Aku datang ke tempat itu bukan karena ingin bertemu siapa pun. Justru sebaliknya, aku sedang ingin lari. Dari seseorang, dari kenyataan, dan dari diriku sendiri yang sedang limbung antara idealisme dan hidup yang tak kunjung menentu.

Gaji sebagai jurnalis media online lokal tidak cukup untuk membiayai rencana kuliah S2 yang sudah lama kupendam. Aku sudah mencoba mengatur, menabung, bahkan mencari-cari beasiswa yang tak kunjung berpihak. Di tengah kegundahan itu, aku teringat pada seseorang. Dulu, dia pernah berkata dengan nada nyinyir, tapi cukup untuk kutangkap maknanya:

 “Kalau kau jadi S2, temui aku.”

Itu kalimat yang belakangan terngiang di alam pikiranku. Bagiku, kalimat itu tak hanya berarti sebuah sapaan masa depan. Tapi juga janji diam-diam, semacam kode bahwa jika aku berhasil mencapai titik itu, maka ia akan ada di sana untuk menolong. Mungkin membantu biaya kuliah, mungkin mendampingi langkah.

Entahlah, aku terlalu banyak mengisi kekosongan makna dalam kata-katanya. Menyisipkan ekspektasi yang berlebihan. Mungkin juga jenis overthinking nomor 73.

Dan aku pun menemuinya. Bertahun setelah kalimat itu terucap. Dengan harapan yang terlalu penuh tafsir. Tapi yang terjadi hanya pertemuan singkat di sebuah kedai, percakapan ringan tentang cuaca, pekerjaan, dan masa lalu. Tak ada pelukan, tak ada janji. Bahkan isyarat pun tidak.

Kata temui aku, rupanya, hanya berarti “bertemu.” Bukan “jemput uangmu” atau “biar aku bantu kau membayar uang kuliah.”

Sejak saat itu aku merasa kosong. Seperti ditinggalkan oleh seseorang yang sebenarnya tak pernah sungguh-sungguh hadir untuk diriku. Ternyata aku hanya alat untuk membuat dia lebih terkenal, lebih bersinar dari seribu lampu di kota ini. 

Maka lapau kopi ini menjadi semacam pelarian. Aku tak berharap apa-apa di sini, hanya ingin duduk diam di kursi kayu tua, menatap air kanal yang mengalir malas, dan membiarkan waktu mengendap bersama kepedihan dan secangkir kopi pahit.

Di sanalah aku bertemu Bang Damar. Di lapau Bang Damar itu aku biasa istirahat, tidur-tiduran di palanta kayu. "Tidurlah di sana. Itu sengaja aku bikin untuk siapa saja yang butuh tempat istirahat," kata Bang Damar beberapa waktu yang lalu. 

Orang-orang menyebut Bang Damar eks-aktivis, tokoh mahasiswa, aktivis pro reformasi yang memilih mundur dari hingar-bingar politik. Setelah melihat jalur perjuangan bergeser, ia mundur teratur. Dulu ia turun ke jalan. Kini ia hanya turun ke dapur, menyeduh kopi untuk pelanggan-pelanggan sepi yang datang bukan untuk gaya hidup, tapi untuk penghiburan.

Aku sering mendengar cerita dari rekan seangkatannya. "Damar itu bodoh, terlalu idealis. Ia tak tahu bagaimana cara hidup di dunia, kasihan kita!" Ada juga yang mengatakan, "Damar itu orang kalah. Ia hanya bersembunyi di balik idealisme. Sosok aktivis lembek dan rapuh!"

Lapau Bang Damar itu sederhana. Meja dari peti bekas, bangku dari papan yang sudah mulai lapuk, dan atap seng yang lebih banyak menampung suara ketimbang menahan panas. Tapi entah kenapa, aku merasa nyaman di sini. Seolah tempat ini tak menuntut apa-apa dariku, selain menjadi diriku sendiri.

Kami tak langsung bicara. Beberapa kali kunjungan, hanya saling sapa dan tukar uang kembalian. Kemudian mulai akrab. Cerita-cerita ringan sekadar pelipur canggung. 

Hari ini ia agak banyak bicara. Setelah ia mendengar kisahku. Seseorang yang membuatku jengkel itu adalah teman yang sering ia ceritakan. 

“Dulu, kami kira perubahan bisa dibangun dengan kemarahan. Ternyata yang kami bangun malah karier untuk sebagian dari kami,” katanya tanpa menatapku, masih sibuk menggiling kopi secara manual.

Aku hanya mengangguk. Hatiku masih tertambat pada pikiran-pikiran yang gagal kupahami: tentang hidup, tentang harapan, dan tentang mereka yang menjanjikan tapi tak pernah datang.

“Ada orang yang seharusnya kau lawan sejak awal, tapi kau biarkan karena merasa mereka kawan. Itulah kesalahan kami dulu,” katanya lagi. Kali ini matanya menatap ke pinggir sungai. Seekor tikus melintas cepat, membawa sisa makanan dari kantong plastik yang entah dari mana asalnya.

“Kami kira semua yang turun ke jalan adalah pejuang. Ternyata sebagian cuma pedagang. Dulu mereka bicara tentang keadilan, kini sibuk bicara margin proyek. Dulu marah karena presiden korup, sekarang mereka duduk dekat kekuasaan, ikut mengatur siapa dapat apa.”

Aku menatap wajah Damar. Keriputnya tak menghilangkan ketegasan pandangannya. Seorang mantan pejuang yang kini hanya ditemani penggiling kopi dan kompor gas.

“Kenapa tak menulis atau bicara lagi, Bang? Banyak orang muda seperti saya yang butuh tahu apa yang sebenarnya terjadi,” tanyaku, mencoba memahami.

"Mungkin ini soal nama. Namaku Damar, pelita kecil yang rawan pudur tertiup angin. Tak cocok untuk nama pesohor kota," ujarnya seraya mengulum senyum. 

Damar menghela napas. Kemudian kembali ke pokok percakapan. “Oke, begini. Mereka yang membaca pun tak betul-betul mau berubah. Mereka hanya ingin kisah, bukan kenyataan. Media hanya dijadikan tempat menonton, bukan merenung. Dan percayalah, sebagian orang seperti saya lebih dibutuhkan diam daripada bicara. Diam sebagai peringatan bahwa pernah ada yang memilih keluar.”

Ia menyodorkan secangkir kopi padaku. “Ini kopimu. Robusta. Tidak manis, tapi jujur.”

Aku mencicipinya. Pahit. Tapi dalam pahitnya ada kejujuran yang tak kutemukan pada senyum orang-orang di balik layar televisi atau rapat-rapat dewan kota.

“Dulu aku tutup mata pada kerakusan beberapa kawan,” lanjutnya. “Kupikir, itu hanya kekurangan pribadi. Tapi ternyata, kerakusan itu bukan kesalahan kecil. Itu bibit dari kehancuran. Sekarang mereka duduk di lembaga, membangun dinasti, dan membuat undang-undang untuk melindungi bisnis keluarga mereka sendiri.”

Aku terdiam. Di kepalaku, wajah beberapa tokoh politik melintas. Wajah-wajah yang dulu ada di foto demonstrasi, kini ada di baliho kampanye. Gaya bicara mereka masih sama—tapi kini ada mobil mewah parkir di belakangnya.

Damar tertawa pendek. “Dan yang lebih lucu, mereka yang paling keras bicara anti-korupsi dulu, sekarang duduk di perusahaan tambang. Mereka yang bilang tanah harus dijaga, kini malah menjualnya atas nama investasi.”

Ia menunjuk sungai lagi. Seekor tikus yang berbeda muncul, lebih besar. “Tikus-tikus kota!"  "Dulu kami kira hanya ada di gedung-gedung kekuasaan, dalam lirik lagu Iwan Fals. Ternyata ada juga di hati teman-teman kami sendiri.”

Senja makin gelap. Lampu lapau menyala remang. Beberapa pengunjung datang dan pergi. Tapi Damar tetap di sana, membersihkan gelas, mengisi air, dan sesekali menatap kanal yang tenang tapi menyimpan arus.

Sebelum aku pamit, aku memberanikan diri bertanya, “Kalau semua sudah begini, buat apa kita masih peduli, Bang?”

Damar tersenyum. “Karena kalau semua berhenti peduli, maka kota ini sepenuhnya akan menjadi milik tikus-tikus itu. Dan kau, dengan segala sakit hatimu, tetap harus menjaga sepotong harapan. Jangan biarkan kecewa mengubahmu jadi seperti mereka.”

Aku bangkit. Melangkah pelan menyusuri jalan kanal. Suara air dan deru motor kecil mengiringi langkahku. Gema azan bersahutan sepanjang jalan. 

Di belakang, Damar tetap di lapau. Menyeduh kopi, menunggu barangkali satu-dua orang muda yang datang bukan untuk minum, tapi untuk mengerti bahwa revolusi sejati bukan hanya soal menggulingkan kekuasaan, tapi menolak ikut menjadi bagian dari kebusukan.

"Jangan biarkan kecewa mengubahmu jadi seperti mereka!” Itu kalimat Bang Damar yang kubawa sepanjang jalan. 

[17 Mei 2025]


No comments: