29 May 2025

Antara Pusat dan Pinggiran: Kritik Epistemologis terhadap Penulisan Ulang Sejarah Nasional

Muhammad Nasir 
(Pengajar Sejarah UIN Imam Bonjol Padang) 


Selama bulan Mei 2025, Menteri Kebudayaan Fadli Zon acap sekali mengumumkan bahwa pemerintah tengah menginisiasi penulisan ulang sejarah Indonesia dengan tujuan “menyegarkan narasi sejarah nasional.” Ia menekankan bahwa sejarah bukanlah doktrin resmi negara bukan pula sejarah resmi (official history), melainkan produk interpretasi yang terus berkembang.


"Tidak ada yang namanya sejarah resmi," ujarnya dalam rapat kerja dengan Komisi X DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (26/5/2025). Silakan baca pernyataannya di detik.com

Pernyataan itu justru bertolak belakang dengan draf Kerangka Konsep Penulisan Sejarah Indonesia. Dalam draf itu ditulis: "Tujuan penulisan ini untuk menghasilkan buku yang merupakan 'sejarah resmi' (official history) dengan orientasi dan kepentingan nasional, untuk meningkatkan rasa kebangsaan dan cinta Tanah Air. Buku ini akan ditulis sebanyak 10 (sepuluh) jilid oleh sejarawan Indonesia sendiri secara kolektif." Silakan baca di tempo.co.

Tapi, Entahlah. 

Namun, pernyataan tersebut tetaplah kontradiksi. Ketika negara menjadi pengendali proyek sejarah besar-besaran, hasil akhirnya nyaris tak bisa dielakkan: ia akan menjelma sebagai official history, yang meskipun diklaim terbuka, justru menetapkan narasi dominan dan membungkam keragaman lokal yang menjadi denyut nadi sejarah nasional itu sendiri. 

Penulisan sejarah nasional Indonesia sejak awal mengandung ketegangan epistemologis antara pusat dan daerah. Sejarah nasional, terutama pasca-kemerdekaan, disusun dengan semangat integrasionisme dan modernisme. Dalam proyek-proyek awal penulisan sejarah nasional seperti yang diinisiasi Muhammad Yamin pada 1950-an, element lokalitas ditarik paksa ke dalam narasi besar kebangsaan. Yamin melihat sejarah sebagai alat untuk membangun kesadaran nasional dan merumuskan jati diri bangsa dalam bentuk yang terpusat. Baginya, sejarah adalah “pangkal tolak nasionalisme.” 

Baginya, seperti tertuang dalam pidatonya pada Kongres Bahasa Indonesia II (1954), sejarah adalah batu penjuru untuk membangun semangat bangsa. Pandangan tersebut mengandung daya inspiratif, tetapi juga menyimpan kecenderungan penyederhanaan realitas historis lokal.

Sementara itu, sejarawan seperti R. Moh. Ali dalam Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia (1957) lebih menekankan pentingnya metodologi dan objektivitas, namun tetap menempatkan sejarah nasional dalam bingkai narasi besar yang tersentralisasi. Tetapi ia mengingatkan agar penulisan sejarah nasional tidak terjebak pada glorifikasi, namun tetap berpijak pada metode ilmiah. Namun dalam praktiknya, sejarah tetap ditulis dari atas; dengan Jakarta sebagai pusat epistemik dan pusat politis! Sementara sejarah-sejarah lokal tetap berada dalam bayang-bayang.

Ketegangan ini kemudian dikritisi oleh para sejarawan generasi berikutnya. Sudjatmoko dan Taufik Abdullah menekankan bahwa sejarah Indonesia bukanlah satu garis lurus, melainkan kolase dari banyak dunia sosial yang tak selalu sinkron satu sama lain. Taufik Abdullah, dalam berbagai tulisan dan diskusi akademik, menunjukkan bagaimana sejarah lokal adalah dunia dengan nilai-nilai, pengetahuan, dan pengalaman historis yang otonom. Ia menyebut pentingnya menggali “sejarah sosial” yang hidup dalam komunitas, bukan sekadar menyusun sejarah kekuasaan negara. 

Secara tegas, Taufik Abdullah, dalam pengantar bukunya Sejarah dan Masyarakat (2004), menyampaikan pentingnya melihat sejarah sebagai proses sosial yang penuh konteks lokal. Ia menunjukkan bahwa “sejarah nasional tanpa fondasi sejarah lokal hanya akan menjadi narasi politik, bukan pengetahuan.”

Dengan semangat yang serupa, Ong Hok Ham (2002) menyoroti pentingnya narasi dari pinggiran yang selama ini dibungkam oleh sejarah resmi. Ia menulis bahwa sejarah Jawa yang dominan telah mengaburkan keberagaman pengalaman etnis dan wilayah lain di Nusantara. Dalam Dari Soal Priayi sampai Nyi Blorong (2002), Ong menulis bahwa dominasi sejarah Jawa dan negara telah mengaburkan sejarah-sejarah daerah yang sarat kekayaan budaya dan konflik sosial.

Kuntowijoyo, melalui gagasan historiografi profetik, menegaskan perlunya pendekatan yang tidak hanya ilmiah, tetapi juga membebaskan dan memberdayakan. Baginya, sejarah seharusnya tidak hanya menjelaskan masa lalu, tetapi juga menjadi sarana transformatif bagi masyarakat. Sejarah lokal dalam konteks ini bukan sekadar “cerita kecil” yang harus diintegrasikan ke dalam sejarah besar, tetapi justru fondasi tempat sejarah nasional bertumpu. Ketika sejarah nasional tidak berakar pada realitas dan memori lokal, maka yang terjadi adalah rekayasa naratif dari atas yang kehilangan resonansi di tingkat akar rumput. 

Alarm Epistemologis

Penulisan ulang sejarah nasional yang sungguh-sungguh menuntut dekonstruksi atas fondasi epistemik historiografi negara.  Bukan hanya menambahkan aktor baru ke dalam cerita lama, melainkan meninjau ulang pertanyaan dasar: siapa yang menulis sejarah, dengan logika pengetahuan siapa, dan untuk kepentingan siapa? 

Hal ini diingatkan oleh Boaventura de Sousa Santos, dalam karyanya epistemologies of the South (2014), bahwa pendekatan semacam ini merupakan bentuk 'epistemicide' pembunuhan atas pengetahuan-pengetahuan lokal yang tidak sesuai dengan standar epistemik pusat.  Sejarah lokal dalam hal ini bukan hanya korban, tetapi juga pelawan.  Ia menolak untuk dibakukan, dan justru tumbuh dalam bentuk sejarah lisan, arsip keluarga, tradisi komunitas, dan ingatan kolektif yang tak tercatat secara resmi. 

Tanpa pembaruan epistemologis, proyek semacam ini hanya akan memperpanjang usia historiografi hegemonik dengan wajah yang lebih inklusif secara kosmetik, tetapi tetap eksklusif secara pengetahuan. 

Jika sejarah nasional dibayangkan sebagai narasi kolektif bangsa, maka sejarah lokal adalah sel-sel hidup yang menyusun narasi tersebut. Menegasikan sejarah lokal dengan hanya menjadikannya “ilustrasi kultural” atau sekadar penyebutan fragmen etnis adalah bentuk reduksi historis yang membahayakan. Inilah yang dikhawatirkan oleh Paul Ricoeur (2004); bahwa setiap bentuk narrative identity yang memaksakan kesatuan akan mengorbankan pluralitas memori, dan pada akhirnya menciptakan kekerasan simbolik terhadap kelompok-kelompok yang tidak sesuai dengan narasi utama.

Dalam konteks epistemologis, proyek penulisan ulang sejarah nasional oleh negara seperti yang saat ini digagas tidak hanya miskin metodologi partisipatif, tetapi juga cenderung mengabaikan filsafat ilmu sejarah itu sendiri. Alih-alih menjadi arena dialog antar narasi, sejarah kembali diposisikan sebagai alat konsolidasi identitas nasional yang seragam. Padahal, seperti ditunjukkan oleh sejarawan-sejarawan terkemuka, penulisan sejarah seharusnya memberi tempat pada polifoni, bukan monofoni; pada keberagaman pengalaman historis, bukan penyatuan naratif yang menghapus keragaman. 

Patut juga dicerna peringatan dari Michel Foucault (1977), sejarah yang dibentuk oleh negara adalah bentuk dari power/knowledge di mana narasi masa lalu dikonstruksi bukan untuk mengungkap kebenaran, melainkan untuk mengatur dan mengendalikan. Dalam konteks Indonesia, historiografi yang diproduksi lembaga resmi cenderung bersifat teleologis, menempatkan sejarah sebagai garis lurus menuju proyek kebangsaan yang seragam. Pandangan semacam ini menihilkan keberadaan sejarah-sejarah alternatif yang hidup dan berkembang dalam ruang-ruang lokal.

Sejarah Indonesia tidak lahir dari satu pusat, melainkan dari ribuan simpul lokal yang berkelindan membentuk jaringan ingatan kolektif. Proyek sejarah nasional yang mengabaikan suara lokal bukan hanya cacat secara etis, tetapi juga lemah secara epistemologis. Ia membangun narasi dari atas, dengan asumsi bahwa pusat selalu tahu apa yang terbaik bagi pinggiran. Narasi semacam ini tidak hanya mengulangi logika kolonial yang sentralistik, tetapi juga berisiko mengaburkan konflik, negosiasi, dan resistensi yang menjadi bagian integral dari sejarah bangsa. 

Jika proyek penulisan ulang sejarah Indonesia ini tidak dilakukan dengan kepekaan epistemologis dan keberpihakan pada kompleksitas sejarah lokal, maka hasil akhirnya adalah sejarah resmi negara dalam baju baru. Hasilnya bukan pembaruan, melainkan pelanggengan dominasi naratif. 

Sejarah semacam ini justru mengkhianati semangat sejarah nasional yang lahir dari sejarah lokal. Di titik ini, perlu ditegaskan bahwa sejarah nasional yang sehat adalah sejarah yang bersedia digugat oleh lokalitasnya sendiri. Tapi, agaknya situasinya akan berbeda. Hegemoni kekuasaan yang lahir dari politik elektoral justru akan berpotensi menjadikan official history ini sebagai alat memukul narasi sejarah lokal.

Apalagi kecenderungan penguasa hari ini suka sekali menggunakan kaum pendengung bayaran untuk menipu orang-orang tidak melek sejarah memusuhi 'narasi lokal' yang berbeda dari sejarah resmi ala negara. 


No comments: