Muhammad Nasir
(1) Memory 1996-2002
Namanya Lubuk Lintah, tapi anehnya… aku tak pernah benar-benar menemukan lubuk, apalagi lintah di sini. Yang ada justru belut sawah yang jinak di lahan basah sebelah barat kampus, arah Parak Jigarang. Mungkin itulah satu-satunya fauna air yang bisa disapa sambil jalan kaki sambil mikir: Besok mid semester apa ujian semester, ya?
Jalanan kampus ini tergolong rapi dan kokoh. Sempit, iya. Tapi cukup untuk dilewati satu motor (itupun kalau ada), satu becak sate, dan dua mahasiswa yang sedang adu argumen soal “mana yang lebih penting: epistemologi atau nasi bungkus?”
Di antara gedung-gedung bersahaja, tumbuh pohon-pohon besar yang menaungi kami. Ada yang akarnya menonjol keluar seperti tangan-tangan tua yang siap merangkul. Di situlah kami duduk bersila, bersandar di batangnya, bergantung di dahannya, dan berlindung di bawah daunnya, dari panas, dari gerimis, dan kadang dari kegelisahan hidup.
Tapi jangan berani lewat sendiri tengah malam. Kata teman-teman, kadang ada penampakan tentara gaib. Seragamnya lengkap. Mukanya tegas. Muncul tiba-tiba di antara pepohonan. Banyak yang percaya itu pasukan dari masa lalu. Barisan pejuang Wak Ketok, alias Djamaluddin Wak Ketok yang legendaris. Tak semua orang melihat. Tapi yang melihat, biasanya tidak ingin melihat lagi.
Ah, kampus ini... bukan sekadar tempat belajar. Ia adalah ruang tumbuh, tempat kamibmahasiswa kerempeng toge yang "dipenuhi idealisme dan hutang" di lapau Uniang belajar hidup. Tahun-tahun 1996 hingga 2002, bagiku adalah musim menetas. Menetas dari anak remaja yang polos menjadi manusia kampus yang (katanya) agak waras dan agak kritis.
Aku aktif di Suara Kampus, pers mahasiswa yang lebih sering ngopi daripada cetak. Pernah nyemplung di Pramuka, Kopma, kecuali Menwa (karena tinggi badan tak mencukupi. Jangan tanya berapa, pokoknya tak lolos verifikasi fisik). Pernah juga menjabat Ketua HMJ, Sekretaris BPM, Presidium Mahasiswa, sampai akhirnya jadi Ketua Dewan Legislatif Mahasiswa Institut.
Malam-malam kami lewati di Student Center yang kami sebut Emperan. Tempat kami berdiskusi, berdebat, rebahan, makan mie rebus bersama yang topping-nya bukan ayam atau telur, tapi daun ubi rebus. Topping-nya tiga kali lipat mie-nya. Kalau ada yang bawa bon cabe level 5, maka itu disebut pesta demokrasi cita rasa.
Guru-guru kami bukan hanya pengajar, tapi pembentuk jiwa. Pak Ahmad Zaini yang jernih pikirannya. Pak Nukman yang teduh. Pak Hamdan Izmy yang selalu tersenyum. Pak Saifullah yang penuh dorongan. Pak Maidir Harun, Pak Syafrinal, Pak Yulizal Yunus, Bu Wirdayati Bahar, Bu Tafiati, Pak Maksum, Pak Abd Djalal, Pak Raichul Amar, Bu Arnisna Agus, Bu Yafsah, Bu Efridawati, Pak Sirajuddin Zar, Pak Bakri Dusar; nama-nama yang kalau disebut satu per satu seperti menyebut mata rantai pembentuk kepribadian.
Dan tentu, dosen-dosen muda yang saat itu jadi idola: Bang Oyong Damhuri Muhammad yang tutur katanya mengalir seperti puisi. Kak Devi Aisyah yang lembut dan bersahaja. Kak Dina Y Sulaiman yang penuh wibawa dan inspirasi. Nanti saya tambahkan lagi, kalau ingatan saya belum kehabisan tinta.
Dan ya, aku masih ingat seorang dosen yang pernah bilang:
“Kuliah di IAIN (baca: yaiyen), serius-serius bana lo…” (Cuma kuliah di IAIN, kok serius amat sih?)
Sekarang kalau kutengok wajahnya, kesal aku. Ternyata ada juga pewarisnya yang berpikir begitu si zaman fufufafa ini. Begitu remeh ia memandang kampus tempat ia mencari makan.
Perkataan itu sempat membuatku tersinggung. Sekarang? Aku ingin mengajaknya bicara empat mata. Baik-baik. Di belakang gedung Ushuluddin. Setelah itu kuarahkan dia lewat jalur tikus belakang Fakultas Tarbiyah, tempat partner in crime-ku sudah menunggu. Lalu... kami pukuli dia rame-rame. Tapi bukan dengan tangan. Dengan tumpukan jurnal, skripsi bab tiga, dan transkrip perkuliahan semester empat. Biar dia tahu: yang kami jalani bukan sekadar kuliah, tapi perjuangan hidup.
Dulu aku pikir, setelah lulus, kampus ini akan jadi masa lalu. Tapi ternyata tidak. Ia jadi poros ingatan. Jadi bagian dari setiap keputusan hidup. Jadi alasan kenapa aku tak pernah menyerah dalam mengajar, menulis, dan mencintai kehidupan.
Setahun setelah toga dikembalikan, aku kembali. Bukan karena tak punya tempat lain. Tapi karena kampus ini bukan sekadar ruang belajar. Ia ruang hidup. Lucu juga. Dulu tercatat sebagai mahasiswa "yang sering telat," sekarang jadi dosen yang menegur mahasiswa yang datang mepet waktu. Karma? Bisa jadi. Tapi karma yang manis.
Kampus ini mengajarkanku satu hal penting: bahwa hidup bukan hanya soal menjawab soal, tapi soal menemukan pertanyaan yang benar. Bahwa tidak semua hal harus cepat selesai. Kadang, berpikir pelan-pelan itu satu-satunya cara agar kepala tak ikut terbakar oleh deadline.
Kata Nietzsche, hidup yang tidak direfleksikan adalah hidup yang belum layak dijalani. Tapi kampus ini tak mengajarkan lewat slogan. Ia mengajarkan lewat keadaan-keadaan yang si luar dugaan. Pelajaran yang ternyata relevan sepanjang zaman, dan juga lewat suara dosen yang pernah bilang, “Kalau malas bergaul dengan bacaan, lebih baik langsung jualan bakwan! ”
Aku tidak merasa jadi orang besar. Tapi kampus ini memberiku ruang untuk tumbuh. Untuk menjadi pribadi yang (setidaknya) tahu kapan harus bicara, kapan harus tertawa, dan kapan harus pura-pura paham demi menjaga harga diri.
Inilah kampus yang mengajarkanku bahwa menjadi sarjana bukan soal gelar, tapi soal cara kita memperlakukan orang lain.
Di kampus yang terletak di Lubuk Lintah—yang baunya khas setelah hujan, dan kenangannya tak pernah benar-benar selesai ditulis.”
Karena pada akhirnya, aku bukan siapa-siapa tanpa tempat ini.
Dan tempat ini akan selalu jadi rumah yang setiap sudutnya pernah kuhuni dengan harap, canda, dan setumpuk revisi skripsi, harapan dan masa depan.
(2 Kini sudah jadi UIN dia.
Dulu masih remaja, sekarang sudah berjubah sarjana penuh, dengan embel-embel "Universitas." Tapi tetap saja, bagiku: dia rumah, bukan sekadar tempat bekerja. Surau tempat mengaji, bukan sekolah biasa.
Kartu mahasiswa itu saksi bisu. Warnanya berubah-ubah, desainnya makin trendi, tapi wajahnya..eh.., wajahku...tetap pas-pasan, bahkan makin kelihatan lelah (meski ada yang bilang aku lebih ganteng sekarang). Dari tahun ke tahun. Dari NIM 196.012, sampai '2320110015'. Seperti silsilah keluarga yang tidak diabadikan di batu nisan, tapi di kartu plastik.
Apa arti kampus ini bagiku?
Ya, lebih dari sekadar tempat belajar. Ia adalah tempat menghidupkan rasa ingin tahu, tempat kutertawa dengan teman-teman yang kini entah di mana, tempat aku merasa bingung, marah, jatuh cinta (tepatnya-cinta tak berbalas), dan akhirnya; tempat aku kembali untuk mengabdi.
Setahun lebih setelah lulus, aku balik lagi. Bukan karena tak bisa pergi, tapi karena ada sesuatu yang tak bisa kutinggalkan. Seperti perasaan pada rumah yang jendelanya menghadap sawah. Aroma kebun dan tanah basah. Aroma peluh dan parfum murah.
Meskipun kata Sartre, "Manusia dikutuk untuk bebas," tapi bagiku kampus ini membebaskan dengan cara yang unik. Ia mengajariku untuk berpikir, tapi juga mengingatkanku bahwa hidup bukan sekadar soal skripsi dan catatan kaki. Kadang hidup itu soal ‘absen kuliah karena hujan lebat’, atau soal makan siang di kantin yang rasanya tak berubah sejak reformasi.
Dulu, kupikir kampus ini tidak akan membentukku jadi siapa-siapa. Tapi justru karena itulah ia penting. Ia membiarkanku menemukan sendiri siapa diriku dengan segala keraguan, pertanyaan, dan keyakinan yang datang dan pergi. Filosofis, bukan?
Ada masa aku merasa pintar, saat bisa menjawab pertanyaan dosen dengan mengutip Derrida. Tapi lebih sering aku merasa bodoh, saat dosen balik bertanya, "Apa maksudmu dengan itu, bisa Anda jelaskan?" dan aku cuma nyengir, sambil berharap jam kuliah cepat berakhir.
Sekarang, aku duduk di ruang dosen. Dulu duduk di lantai masjid, di blok M, atau di balkon kampus yang sempit. Sekarang kadang justru rindu wangi karpet usang dan suara kipas angin yang mengalahkan khotbah Jumat masjid lama. Rindu khutbah panjang Pak Tasman Yacoub, yang juga pernah jadi bapak kost-ku.
Aku kembali bukan karena nostalgia, tapi karena tahu bahwa tempat ini butuh saksi. Butuh yang berani menyatakan, “Aku sudah pernah merasa "salah tempat" di sini, dan itu ternyata bukan hal yang memalukan.”
Sebagian hidupku memang habis di sini. Tapi entah kenapa, aku tidak merasa rugi. Karena di sinilah aku menemukan caraku belajar mencintai ilmu, manusia, dan waktu yang tak kembali. Mencintai kampus apa adanya.
Mungkin aku bukan orang hebat. Tapi aku tahu betul bahwa kampus ini telah menjadikan hidupku punya arah. Tidak selalu lurus, kadang berliku, tapi tetap jalan.
Dan kalau suatu hari nanti anakku bertanya, “Ayah mengapa ayah menyuruhku masuk UIN?”
Aku akan bilang, “Di tempat ini di mana ayah jatuh, bangkit, dan belajar tersenyum lagi. Di kampus yang letaknya di Lubuk Lintah yang baunya khas setelah hujan. Tempat ayah mengenal Ummi mu, dan membawanya ke dalam hidup kalian”
Cerita ini tentu akan berbeda bila aku menjadi rektor. Akan ada rencana-rencana berbeda dari yang aku ceritakan. Rencana-rencana hebat yang tumbuh dari kemauan bersama civitas akademika. Bukan semata kamauanku sendiri. Ha, itu kuncinya!
---
Cc Pak Jokowi
No comments:
Post a Comment