04 June 2025

Dari Balik Panggung Humas

 Muhammad Nasir


Ada sekitar sebelas tahun saya bekerja sebagai humas di perguruan tinggi: pertama kali antara tahun 2003 hingga 2013, lalu kembali lagi mengemban peran yang sama mulai tahun 2017. Dalam kurun waktu itulah saya menjadi saksi hidup dari begitu banyak wajah yang datang dan pergi, pejabat yang berganti, gaya kepemimpinan yang berubah: tapi dengan pola yang, anehnya, terasa tetap.

Saya menyaksikan parade para tamu penting: ilmuwan bereputasi, politisi ulung, hingga para menteri yang datang dengan pengawalan dan protokol yang kadang lebih sibuk daripada substansi pertemuan itu sendiri. Saya pernah berdiri di balik layar, menunggu aba-aba, mengatur posisi, menyusun kalimat sambutan, memastikan acara berjalan dengan sempurna.


Tapi di tengah semua itu, saya pernah —dan cukup sering— memutuskan untuk tak ikut berebutan berfoto bersama mereka. Bukan karena anti-sosial atau meremehkan status mereka. Justru karena saya menyadari ada hal-hal yang terasa janggal. Beberapa dari mereka terlalu reaktif terhadap hal-hal sepele, menciptakan kepanikan simbolik yang membuat saya mules. Rasanya seperti menyaksikan drama berlebihan yang dipentaskan hanya untuk memuaskan ego tertentu.

Saya mulai menyadari pola yang menyedihkan: bagaimana persoalan serius seringkali ditanggapi dengan cara yang sepele, dan sebaliknya, masalah-masalah sepele dibahas dengan kesungguhan yang tidak proporsional. Ada yang disebut paradoks birokrasi: di mana makna digantikan oleh prosedur, dan nilai dikalahkan oleh pencitraan. Dan itu bukan terjadi sekali atau dua kali. Itu sistemik. Itu jadi ritme yang tak terucap namun terasa oleh siapa saja yang cukup lama mengamati.

Di sanalah titik awal saya mulai goyah. Bukan karena pekerjaan humas itu terlalu berat—saya terbiasa dengan dinamika, tekanan, bahkan drama dadakan. Tapi yang membuat saya benar-benar guncang adalah ketika pekerjaan itu kehilangan makna. Ketika yang penting bukan lagi apa yang disampaikan, tapi siapa yang terlihat; bukan apa yang diperjuangkan, tapi siapa yang tampil di foto.

Saya menyaksikan dengan mata kepala sendiri, bagaimana sebagian pejabat lebih khawatir jika tidak disebut namanya dalam spanduk, dibandingkan jika substansi kegiatan kosong. Saya melihat bagaimana diskusi ilmiah dirancang untuk pencitraan, bukan pencerahan. Rapat-rapat berlangsung lama tapi tak menghasilkan keputusan bernas. Pidato-pidato panjang yang tak lain hanya barisan jargon tanpa isi.

Kelelahan itu menumpuk. Ada terlalu banyak pesta yang tak berguna, tindakan yang tak bermakna. Di satu sisi, para birokrat kampus bicara tentang tridharma, integritas, dan visi keilmuan; tapi di sisi lain, mereka lebih sibuk mengatur framing dan angle kamera ketimbang berpikir tentang dampak kebijakan.

Filsuf eksistensialis Albert Camus pernah menulis bahwa absurditas harus ditolak dengan menciptakan makna sendiri. Tapi bagaimana mungkin saya menciptakan makna dalam kerja yang tiap harinya diwarnai absurditas simbolik dan kepura-puraan seremonial?

Banyak birokrat kampus hidup dalam ilusi jabatan: seolah pangkat dan kursi adalah puncak pencapaian. Mereka memperjuangkannya dengan hasrat yang nyaris religius, tapi melupakan bahwa dalam pendidikan, jabatan seharusnya hanyalah alat. Aristoteles mengajarkan bahwa hidup yang baik adalah hidup yang dijalani dengan aretê—keutamaan moral dan intelektual. Tapi apa yang saya lihat justru adalah hidup yang dikendalikan oleh kalkulasi politis dan kecemasan akan posisi.

Saya guncang karena mereka yang saya harapkan menjadi pemimpin, justru seringkali menjelma menjadi pengelola rutinitas kosong. Mereka lihai menyusun narasi visi-misi, tapi gamang berkata jujur. Mereka takut pada kritik, tapi lapar pada pujian. Mereka menjaga tampilan luar dengan sempurna, tapi abai terhadap kebusukan yang tumbuh di dalam.

Dan itu membuat saya bertanya: untuk siapa semua ini? Untuk siapa jamuan itu? Untuk siapa baliho itu? Untuk siapa saya bekerja mati-matian, jika yang dihargai hanya lapisan luarnya saja?

Yang lebih mengusik: saya mulai kehilangan diri saya sendiri. Saya menjadi bagian dari sistem yang membuat saya ragu pada apa yang saya kerjakan. Dan ketika kerja kehilangan makna, maka tak ada apresiasi yang bisa mengobati kelelahan batin.

Saya tidak sedang merendahkan siapa pun. Saya hanya sedang mencatat. Tentang apa yang saya lihat, saya rasa, dan saya pikirkan selama bertahun-tahun berada di belakang layar kampus. Saya mengamati bagaimana mereka—para aktor zaman itu—masih saja ingin bermain di panggung hari ini, seolah waktu tak pernah bergerak, seolah publik tak pernah belajar.

Kata Søren Kierkegaard, “The greatest hazard of all is losing one’s self… and it can happen very quietly.” Saya tidak ingin kehilangan diri saya hanya karena sibuk menjalankan sesuatu yang tak lagi saya yakini nilainya.

Maka saya menepi sejenak. Untuk bisa melihat lebih jernih. Untuk tetap jujur pada diri sendiri. Karena menjadi humas bukan sekadar menyampaikan pesan. Tapi juga menjaga makna di tengah gemuruh kepalsuan.

Dan, kemudian saya menemukan dunia saya sendiri. Dunia kelas! 

No comments: