Muhammad Nasir
Ini adalah titik kisar dalam perjalanan karir saya sebagai dosen. Ketika saya merasa perlu berhenti sejenak dan bertanya: ke mana sebenarnya arah yang sedang saya tempuh? Rutinitas administratif, laporan-laporan, dan pertemuan-pertemuan yang sering kali tidak berdampak langsung pada mutu akademik, mulai terasa mengganggu.
Semakin hari, saya merasakan jarak antara tugas-tugas institusional dengan hal-hal yang pada awalnya membuat saya mencintai dunia akademik: berpikir, meneliti, membaca, menulis, dan berdialog dengan mahasiswa.
Saya juga menyadari bahwa jabatan struktural di lingkungan kampus bukanlah tempat saya berkembang. Alih-alih memberi ruang untuk berkontribusi lebih luas, jabatan itu sering kali menjadi bagian dari skenario formal yang tidak terlalu saya saya yakini nilainya. Setidaknya berdasarkan apa yang sudah terjadi dan sedang berjalan.
Ada terlalu banyak basa-basi, simbol, dan penghormatan yang tidak mencerminkan kerja substantif. Karena itu, saya memilih untuk tidak lagi menjabat. Bukan sebagai bentuk penolakan terhadap tanggung jawab, tetapi sebagai bentuk kejelasan arah: saya ingin tetap bekerja sebagai dosen yang fokus pada kerja akademik.
Keputusan ini tidak datang dalam satu malam. Ia lahir dari pengamatan jangka panjang dan dari pengalaman-pengalaman yang menggugah kesadaran. Saya menyadari bahwa energi saya sering habis untuk urusan-urusan yang tidak berkontribusi langsung pada pengembangan ilmu pengetahuan atau pembelajaran mahasiswa. Ketika pekerjaan administratif lebih menentukan karier daripada publikasi atau pengaruh pemikiran, saya merasa ada yang keliru dalam sistem yang kami jalani.
Saya tentu tidak sedang menutup mata terhadap pentingnya manajemen institusi. Tapi saya percaya, manajemen seharusnya menjadi sarana yang mendukung proses akademik, bukan menggantikannya. Jika seorang dosen lebih banyak mengisi laporan dan menghadiri aneka acara "kenduri kampus" daripada membaca dan meneliti, maka perlu ada evaluasi ulang terhadap arah yang diambil. Menata ulang arah ini adalah upaya saya untuk menyeimbangkan kembali antara tanggung jawab institusional dan panggilan intelektual.
Saya ingin tetap menjadi bagian dari institusi, tetapi dengan peran yang sesuai dengan kekuatan dan minat saya. Saya ingin bekerja secara bermakna dalam ruang-ruang akademik, bukan sekadar tampil dalam struktur formal. Dengan begitu, saya bisa tetap berkontribusi sambil menjaga integritas dan kejujuran dalam menjalani profesi sebagai dosen.
Menjaga Ruang Kelas
Saya percaya bahwa ruang kelas masih bisa menjadi ruang yang bermakna, jika dikelola dengan kesadaran dan tanggung jawab yang tulus. Di sana, saya berhadapan langsung dengan mahasiswa yang sedang tumbuh, mencari arah, dan sering kali penuh pertanyaan. Ruang kelas menjadi titik temu antara pengalaman akademik saya dan semangat muda mereka yang sedang mencari pegangan.
Saya ingin menjadikan kelas bukan sebagai ruang pengajaran satu arah, tapi sebagai ruang berbagi gagasan. Dalam praktiknya, saya mulai mengurangi dominasi ceramah dan membuka lebih banyak ruang dialog. Saya memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk menyampaikan argumen, mengajukan pertanyaan, dan bahkan membantah gagasan yang saya sampaikan. Ini memberi energi baru pada suasana kelas dan membantu mereka berpikir secara kritis.
Saya juga ingin memanfaatkan ruang kelas sebagai tempat refleksi atas kenyataan sosial. Materi-materi yang saya sampaikan tidak hanya berhenti pada teori, tetapi saya hubungkan dengan realitas yang dekat dengan mahasiswa. Ini membuat pembelajaran terasa relevan dan tidak terlepas dari kehidupan sehari-hari mereka. Mahasiswa belajar tidak hanya untuk ujian, tetapi untuk memahami dunia di sekitar mereka.
Dalam situasi seperti itu, saya menduga, kelas pasti menjadi lebih hidup. Mahasiswa tidak lagi pasif, dan saya pun tidak merasa sendirian dalam menghidupkan suasana. Saya percaya, pengalaman belajar yang menyenangkan dan menantang secara intelektual akan membekas lebih lama dalam ingatan mereka daripada sekadar nilai akhir di lembar transkrip.
Ruang kelas, bagi saya, adalah titik awal dari perubahan. Jika saya bisa menjaga ruang ini agar tetap sehat dan bermakna, maka saya sudah melakukan sesuatu yang signifikan dalam dunia akademik, meskipun tidak berada di posisi jabatan struktural mana pun.
Menulis dan Meneliti Secara Mandiri
Saya menyadari bahwa menulis dan meneliti adalah dua kegiatan yang sangat penting bagi keberlanjutan pemikiran seorang akademisi. Namun dalam praktiknya, tidak semua dosen memiliki ruang dan waktu yang cukup untuk melakukannya dengan tenang. Tuntutan administratif dan kegiatan institusional sering menyita energi yang semestinya bisa dialokasikan untuk kerja intelektual.
Karena itu, saya memilih untuk secara sadar menciptakan ruang menulis dan meneliti secara mandiri. Saya mengatur waktu harian dengan disiplin, menetapkan target yang realistis, dan berusaha menjaga konsistensi. Saya tidak selalu menulis untuk publikasi ilmiah, tetapi juga untuk latihan berpikir, menyusun gagasan, mencatat refleksi, atau menyusun bahan ajar. Proses ini membantu saya menjaga alur berpikir dan memperdalam pemahaman terhadap bidang yang saya tekuni.
Saya juga mulai membuka diri terhadap tema-tema yang lebih kontekstual dan relevan dengan kehidupan masyarakat. Penelitian tidak selalu harus besar dan bergengsi. Penelitian kecil yang dikerjakan dengan keseriusan dan kejujuran bisa memberikan dampak yang berarti. Saya belajar untuk tidak terjebak pada standar-standar prestise semata, tetapi tetap menjaga kualitas dan kebermanfaatan.
Dalam proses ini, saya merasakan kembali kegembiraan intelektual yang sempat hilang. Menulis dan meneliti tanpa tekanan institusional memberi ruang kebebasan berpikir yang lebih luas. Saya merasa lebih merdeka untuk mengeksplorasi, mengkritisi, dan menciptakan gagasan baru. Ini adalah kebebasan yang sangat penting bagi seorang akademisi.
Meski tidak selalu mendapat pengakuan formal, saya percaya bahwa kerja-kerja seperti ini tetap bernilai. Ia adalah bentuk tanggung jawab pribadi terhadap ilmu pengetahuan dan terhadap masyarakat yang akan menerima dampaknya.
Membangun Jejaring Pertemanan Baru dan Komunitas Alternatif
Dalam situasi ketika struktur formal kampus terasa kurang mendukung kerja akademik, saya mulai mencari dan membangun ruang-ruang alternatif. Komunitas ilmiah, forum diskusi daring, kelompok baca, dan kolaborasi lintas kampus menjadi tempat-tempat baru yang memperkaya pengalaman saya sebagai dosen. Di sana, saya menemukan semangat yang berbeda —lebih cair, lebih terbuka, dan sering kali lebih jujur.
Saya bergabung dengan beberapa komunitas akademik yang tidak terlalu birokratis. Di forum-forum ini, orang-orang berdiskusi karena ingin berbagi, bukan karena ada kewajiban. Kami berbagi artikel, mengulas buku, dan kadang-kadang mengadakan diskusi daring tentang isu-isu aktual. Kehadiran di komunitas seperti ini menyegarkan dan membantu saya melihat bahwa dunia akademik tidak hanya ada di dalam kampus.
Saya juga mulai membangun jaringan dengan peneliti-peneliti muda dan mahasiswa pascasarjana dari berbagai daerah. Kolaborasi-kolaborasi kecil seperti menulis bersama atau berbagi sumber bacaan membuka peluang baru untuk tumbuh. Di luar struktur institusional, saya justru merasa lebih mudah untuk bekerja secara setara dan saling menghargai.
Selain itu, saya juga mencoba menggunakan media sosial dan platform daring sebagai sarana berbagi gagasan. Menulis di blog, berbagi catatan ringkas di platform terbuka, atau berdiskusi secara informal melalui grup menjadi cara baru untuk menjangkau audiens yang lebih luas dan beragam. Akademik tidak harus selalu berada dalam jurnal bereputasi, ia juga bisa hadir dalam percakapan sehari-hari yang membangun.
Langkah-langkah ini membantu saya melihat dunia akademik sebagai ekosistem yang luas dan dinamis. Selama kita bisa menjaga semangat belajar dan berbagi, ruang untuk tumbuh tetap terbuka.
Apakah Saya akan Menemukan Makna Baru?
Apakah ini fase yang lazim manusia seusia saya, fase di mana burnout dan kejenuhan menuntut seseorang menata ulang lagi hidupnya? Mungkin bagi saya begitu. Menata ulang arah hidup akademik bukan berarti saya mundur atau menyerah. Bagi saya, ini adalah proses menyederhanakan dan memperjelas prioritas.
Saya ingin kembali ke hal-hal yang paling mendasar: membaca dengan tenang, mengajar dengan tulus, menulis dengan jujur, dan berdialog dengan siapa pun yang tertarik pada gagasan. Hal-hal ini memberi makna lebih dalam daripada pencapaian-pencapaian formal.
Saya menyadari bahwa perubahan besar di level institusi mungkin sulit dan lambat. Tapi saya percaya, perubahan bisa dimulai dari cara kita bekerja setiap hari. Jika saya bisa menjaga integritas dalam bekerja, itu sudah menjadi kontribusi tersendiri. Saya ingin bekerja bukan karena sistem mendorong saya, tapi karena saya percaya pada nilai dari pekerjaan itu sendiri.
Menemukan kembali makna juga berarti berdamai dengan keterbatasan. Saya tidak selalu bisa mengikuti semua tuntutan, tidak selalu bisa hadir di setiap forum, dan tidak selalu bisa memenuhi semua indikator kinerja. Tapi saya bisa memastikan bahwa setiap langkah yang saya ambil memiliki alasan yang kuat dan tujuan yang jelas.
Dalam proses ini, saya merasa lebih ringan dan lebih terhubung dengan apa yang benar-benar penting. Saya tidak perlu menjadi figur publik atau pengambil kebijakan untuk merasa berarti. Saya cukup menjadi dosen yang jujur dalam berpikir, adil dalam mengajar, dan konsisten dalam belajar.
Mungkin suatu saat saya butuh surau sendiri di pinggiran kampus. Seperti impian saya di masa kecil. Surau dengan suasana kampung yang asri, tempat saya menerima kunjungan teman-teman dan mahasiswa saya. Bercerita tentang apa saja. Suatu tempat yang sekarang saya bayangkan di tepian Batang Kandis. Itu saja!
No comments:
Post a Comment