05 June 2025

Membaca TKVW: Keluarga ‘Matre’ dalam Adat Matri

Oleh: Muhammad Nasir


Tapi jika peran bako melemah atau bahkan tak diakui, atau peran keluarga kaumnya juga tak berkeruncingan,  maka anak-anak ini terpaksa bermamak ke bansos dan berbapak ke open donasi di group WhatsApp.

 

Novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck (TKVW) karya Hamka (ditulis sekitar 1938) sering dibaca sebagai kisah cinta tragis antara Zainuddin dan Hayati. Tapi bila dibaca lebih dalam, novel ini bukan hanya tentang cinta yang kandas. Ia adalah kisah tentang kegagalan struktur keluarga dan salah kaprah dalam memahami adat Minangkabau, khususnya adat matrilineal.

Zainuddin, tokoh utama dalam cerita ini, adalah anak dari seorang Minangkabau yang menikah dengan perempuan Bugis. Karena ibunya bukan orang Minang, Zainuddin ditolak sebagai bagian dari suku ibunya. Padahal dalam adat Minangkabau, suku diturunkan melalui ibu. Sayangnya, garis ibu Zainuddin bukan bagian dari sistem adat lokal, membuatnya tak bersuku, dan karenanya, dianggap tak “berhak”.



Namun masalahnya tak berhenti di sana. Zainuddin juga terkesan tak punya bako, yaitu pihak keluarga ayah yang bisa membelanya. Mirip dengan istilah Ipank (2016) "Baayah lai, babako tido", meski dalam cerita dan konteks yang berbeda. Dalam sistem adat, bako seharusnya hadir memberi dukungan moral dan sosial, apalagi dalam situasi penolakan seperti ini. Tapi dalam kisah ini, fungsi bako nyaris tak terdengar. Ia hilang, tak tampak, dan tak peduli. Zainuddin menjadi anak biologis dan ideologis Minang tanpa rumah sosial, korban dari adat yang kehilangan fungsinya, atau lebih tepatnya: adat yang kehilangan jiwa aslinya.


Keluarga Hayati, calon pasangan Zainuddin, menjadi gambaran keluarga Minang yang dalam penampilan luar seolah menjunjung adat. Mereka bicara soal suku, kehormatan, dan adat. Tapi dalam praktiknya, mereka lebih menimbang status sosial dan kekayaan. Zainuddin yang miskin dan tak bersuku dianggap tak pantas. Sebaliknya, Aziz yang kaya dan berdarah bangsawan diterima dengan tangan terbuka, meskipun kemudian terbukti bermasalah.

Inilah letak ironi dalam novel ini. Adat yang harusnya melindungi dan menuntun, justru menjadi alat penindasan baru. Bukan adat matrilineal yang dijalankan, tapi semacam matrealisme yang menyamar sebagai adat. Judul esai ini menyebut “matri” dari matrilineal, tapi kisahnya justru tentang keluarga “matre”.

Hamka melalui novel ini tampaknya ingin bicara lebih dari sekadar romansa. Ia menggambarkan kerapuhan sistem sosial ketika nilai-nilainya digantikan oleh kuasa materi. Hayati, sang perempuan yang hidup dalam kerangka adat matrilineal, justru terperangkap dalam keputusan orang tua dan lingkungan yang lebih peduli pada gengsi daripada cinta, lebih mendengar bisikan kekayaan daripada suara hati.

Siapa sejatinya yang tenggalem, boleh jadi dapat diidentifikasi dengan empat cara pembacaan. Pertama, Zainuddin yang “ditenggelamkan” oleh kapal besar bernama status sosial. Cintanya karam bukan karena dia tak pantas, tapi karena dia tak kaya. Kapal Van der Wijck dalam cerita itu menjadi metafora: kapal bernama cinta, harapan, dan keberanian yang tak mampu menahan gempuran ombak materialisme dan adat yang telah berubah arah. Kedua, yang karam itu sesuai isi cerita, adalah kapal yang ditumpangi Hayati sendiri dengan egoisme pribadinya, keluarga besarnya yang materialistic. Ketiga, kapal yang berarti institusi Bako dalam sistem kekerabatan Minangkabau. Institusi ini dikaramkan oleh HAMKA karena hamper-hampir tak berguna lagi untuk membantu anak pisang, terutama setelah kematian bapaknya. Keempat, meski agak berat menuliskannya, tapi disamarkan saja dengan karamnya sistem kekerabatan matrilineal Minangkabau karena tak dapat menjalankannya dengan baik.

 

Agar Tak Bermamak ke Bansos – Berbapak ke Open Donasi

Kemalangan Zainuddin juga memperlihatkan satu hal penting yang kerap luput dalam perbincangan adat Minangkabau: perlunya penguatan peran keluarga patrilineal melalui jalur bako. Tanpa kehadiran bako yang kuat, anak-anak seperti Zainuddin menjadi yatim secara sosial, kehilangan salah satu tiang penyangga kehidupan.

Dalam konsepsi adat Minangkabau, anak-anak sebenarnya punya dua sumber kekuatan. Seperti diungkapkan dalam pepatah adat: “Anak dipangku jo pancarian, kamanakan dipangku jo pusako.” Artinya, anak mendapat dukungan dari keluarga ayah (pancarian), sementara kemenakan (anak saudara perempuan) mendapat dukungan dari keluarga ibu (pusako). Ini berarti setiap anak Minangkabau punya dua rumah yang menopang: rumah pusako dari ibu dan rumah bako dari ayah.

Frasa anak pisang untuk menyebut anak dari garis ayah juga bukan tanpa makna. Ia menggambarkan kedekatan emosional dan kekerabatan yang tak terputus antara anak dan keluarga ayahnya. Sebagaimana anak pisang tak akan jauh dari batang pisang, begitu pula anak dengan bako-nya. Anak yang berada dalam konsepsi keluarga bako yang sehat, tentu dapat menerima sokongan materi dan non-materi dari keluarga besar ayahnya dan mendapatkan dukungan yang kuat pula dari pihak keluarga besar ibunya.

Dalam konteks modern, ini sangat relevan. Misalnya, untuk anak-anak Minangkabau yang kesulitan membayar uang kuliah atau UKT di perguruan tinggi, idealnya beban ini bisa dipasamoan, alias —ditanggulangi bersama— oleh kedua belah pihak. Tapi jika peran bako melemah atau bahkan tak diakui, atau peran keluarga kaumnya juga tak berkeruncingan,  maka anak-anak ini terpaksa bermamak ke bansos dan berbapak ke open donasi di group WhatsApp. Ini bukan hanya sindiran, tapi kenyataan yang sedang berlangsung.

Tanpa penguatan nilai gotong royong antar dua basis keluarga ini, masyarakat Minangkabau akan kehilangan karakter kolektifnya. Anak-anak muda akan terus menghadapi beban hidup sendirian, dalam masyarakat yang katanya bersuku dan beradat, tapi tak lagi mampu memeluk dan menopang.

 




No comments: