Catatan kecil usai bedah novel Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawi karya Khairul Jasmi di Perpustakaan Daerah Sumatera Barat.
Muhammad Nasir
George McTurnan Kahin (1952) menyebut Sumatra Westkust sebagai "lahan subur radikalisme dan nasionalisme awal". Di wilayah ini, pendidikan dan Islam berpadu menciptakan kaum muda berpikiran maju. Pendidikan bukan hanya soal menghafal, tetapi membentuk daya kritis dan etos merdeka.
Taufik Abdullah (1971) bahkan menyebut gerakan Kaum Muda di Minangkabau sebagai model gerakan sipil berbasis etika dan argumentasi. Mereka tidak hanya belajar di sekolah-sekolah Barat, tetapi juga di surau dan madrasah, membentuk sintesis unik antara rasionalitas modern dan spiritualitas lokal.
Di sinilah kekhasan Sumatra Westkust tampak: daerah pinggiran yang justru melahirkan pusat-pusat kesadaran nasional.
Nama-nama seperti Mohammad Hatta, Haji Agus Salim, Tan Malaka, Sutan Sjahrir, dan Abdul Muis sudah terukir dalam buku sejarah. Mereka adalah sosok dengan pemikiran tajam, kesadaran sosial tinggi, dan keberanian untuk hidup dalam kemiskinan demi perjuangan. Padahal banyak di antara mereka berasal dari keluarga berada.
Catatan untuk mereka: berasal dari keluarga berada, memilih jalan perjuangan yang sulit, menjadi besar karena perjuangan dan gagasannya, namun hidup miskin selama hidupnya.
Hatta misalnya, cucu seorang pengusaha kaya dari Bukittinggi. Salim, anak diplomat Hindia Belanda. Tan Malaka juga memiliki latar belakang priyayi lokal. Namun, alih-alih menikmati kenyamanan, mereka memilih jalan sunyi: memperjuangkan rakyat kecil yang tak bersuara.
Ini terlihat kontras dengan generasi politisi kontemporer. Terlihat amat mencolok. Sekarang justru lebih banyak politisi kaya, tetapi miskin gagasan. Mereka membangun pencitraan, bukan perjuangan. Mereka memburu kekuasaan, bukan kebenaran. Politik menjadi panggung dagelan, bukan ruang perdebatan gagasan.
Tan Malaka, tokoh paling misterius sekaligus paling konsisten dalam ideologi anti-imperialisme, sebagaimana diulas mendalam oleh Harry A. Poeze (2007), hidup berpindah-pindah, miskin, dan dikejar-kejar, tapi tidak pernah kehilangan arah ideologis. Ia adalah bukti bahwa kemiskinan tidak menghambat visi besar. Bahkan, kondisi tertindas justru menjadi bahan bakar perjuangan.
Sutan Sjahrir, dalam penjara pun tetap menulis. Ia percaya bahwa kemerdekaan tanpa pendidikan politik hanya akan melahirkan tirani baru. Hatta, dalam pengasingan, menyusun strategi ekonomi pasca-kemerdekaan. Ia tidak menunggu panggung, tapi menciptakan panggung dari keterbatasan.
Para tokoh ini bukan hanya berpikir untuk zamannya, tapi untuk masa depan yang belum mereka lihat.
Jeffrey Hadler (2008) menunjukkan bagaimana Islam dan adat di Minangkabau menjadi basis identitas kultural yang memungkinkan munculnya semangat resistensi dari lapisan bawah. Islam bukan sekadar doktrin spiritual, tetapi energi sosial yang mendorong keberpihakan. Dalam konteks ini, pendidikan bukan hanya jalur mobilitas sosial, melainkan wahana emansipasi dan perlawanan.
Takashi Shiraishi (1997) menambahkan bahwa radikalisme rakyat di Indonesia pada awal abad ke-20 lebih merupakan ekspresi kegelisahan moral dan harapan kolektif daripada semata strategi politik.
Apa yang perlu diingat?
Mereka yang miskin harta, tapi kaya cita-cita. Dari Sumatra Westkust, semangat itu pernah lahir. Kini, saatnya menjaganya agar tak punah dalam hiruk-pikuk pragmatisme politik masa kini.
Namun kini, memori tentang mereka semakin terfragmentasi. Rosihan Anwar (2002) menyindir dengan tajam bahwa bangsa ini lebih suka mengenang pahlawan dengan nama jalan, bukan dengan peneladanan nilai. Di tengah era digital dan banjir informasi, kekosongan gagasan diisi oleh retorika kosong. Sejarah menjadi alat legitimasi, bukan inspirasi. Politik berubah menjadi kontestasi pengaruh, bukan pertempuran nilai. Di sinilah pentingnya institusi memori.
Apa yang bisa dilakukan? Institusi memori tentang tokoh bangsa itu perlu diciptakan secara konkret dan berkelanjutan. Misalnya, pendirian Hall of Fame Pejuang Gagasan di setiap daerah; tempat di mana generasi muda dapat menyaksikan secara visual dan naratif perjuangan intelektual dari tokoh-tokoh lokal.
Ruang ini bisa juga menjadi museum ideologi, tempat para pelajar dan masyarakat umum merenungi kembali akar sejarah perjuangan, bukan hanya sebagai peristiwa, tapi sebagai sistem nilai.
Lebih dari itu, pelajaran biografi perjuangan para tokoh ini bisa dijadikan mata pelajaran mandiri di sekolah-sekolah, bukan sekadar sisipan dalam sejarah nasional. Materi ini tidak harus kaku seperti kurikulum sejarah biasa. Ia bisa dihidupkan melalui penulisan esai, teater sejarah, atau proyek multimedia yang memungkinkan pelajar mengalami sejarah secara partisipatif.
Dengan cara ini, sejarah perlawanan dan etos radikal rakyat akan tetap hidup, bukan hanya sebagai artefak, tapi sebagai inspirasi dan identitas kolektif.
Media lokal dan nasional juga memiliki tanggung jawab. Mereka bisa mengangkat kisah-kisah perjuangan tokoh Sumatra Westkust dalam program dokumenter, artikel, atau diskusi publik. Universitas, sebagai rumah akal, harus membuka lebih banyak ruang untuk kajian tentang tokoh-tokoh ini, bukan hanya sebagai bahan skripsi, tapi sebagai bagian dari pembangunan karakter bangsa.
Untuk Sumatera Barat...
Jika Sumatera Barat atau Sumatra Westkust dahulu adalah rahim dari ide-ide besar dan keberanian melawan arus, maka kini ia harus menjadi penjaga memori, bukan sekadar pengarsip nostalgia. Dengan institusi yang tepat, ingatan kolektif atas para pejuang miskin tetapi kaya gagasan itu dapat terus memberi arah bagi bangsa yang haus akan pemimpin dengan visi, bukan sekadar ambisi. Warisan ideologis mereka harus terus diperbarui melalui tindakan nyata, bukan sekadar dikenang dengan seremoni yang hambar.
Dalam dunia yang bergerak cepat, hanya masyarakat yang memiliki fondasi memori yang kuat yang mampu menjaga arah. Tanpa memori yang kokoh, bangsa ini akan mudah lupa bahwa kemerdekaan bukan hadiah, tapi hasil dari pengorbanan panjang, dari mereka yang tak punya apa-apa kecuali semangat, pemikiran, dan keberanian.
(20 Mei 2025)
Note: Tulisan ini belum sempurna, nanti diedit bila ada waktu
No comments:
Post a Comment