Pages - Menu

21 June 2025

Frasa Superlatif dalam Retorika Sejarah: Manipulasi Pengetahuan Sejarah

Muhammad Nasir
Pengajar Sejarah UIN Imam Bonjol Padang


Sejarah bukanlah cermin pasif atas masa lalu, melainkan konstruksi naratif yang dibentuk oleh pilihan-pilihan bahasa, struktur cerita, dan retorika         —Hayden White (1973)


Sejarah nasional yang diklaim sebagai official history di banyak negara, termasuk Indonesia, kerap terjebak dalam bias subjektif dan narasi yang tidak proporsional, terutama ketika menuliskan peran tokoh-tokoh (tepatnya: pelaku sejarah) dalam sejarah bangsa. Akibatnya, historiografi yang seharusnya berfungsi sebagai rekonstruksi kritis atas masa lalu, justru berubah menjadi semacam buku profil organisasi, yang lebih bertujuan mengukuhkan identitas simbolik dan kebanggaan institusional ketimbang menjelaskan kompleksitas historis secara analitis.

Dalam konteks ini, penggunaan frasa dan kata superlatif seperti “tokoh paling berjasa,” “putra terbaik bangsa,” atau “pemimpin tak tergantikan” menjadi ciri khas buku sejarah nasional yang memperlihatkan kecenderungan glorifikasi daripada pencarian kebenaran historis. Bahwa historigrofi secara ilmu bertujuan mencari kebenaran ilmiah tentang masa lalu.

Salah satu contoh yang mencolok dari fenomena tersebut dapat ditemukan dalam ungkapan: “Joko Widodo adalah salah satu putra terbaik di antara putra-putra terbaik lainnya yang dimiliki bangsa ini.” Pernyataan seperti ini tampaknya ingin memberikan penghormatan, tetapi secara linguistik dan semantik menimbulkan dua persoalan berupa: redundansi dan implikasi hirarkis yang tidak logis.

Ungkapan tersebut merupakan bentuk pleonasme, yakni pengulangan makna yang tidak perlu. Karena jika seseorang sudah dikatakan sebagai "salah satu yang terbaik", maka dia sudah termasuk dalam kelompok yang dimaksud. Penambahan “di antara putra-putra terbaik lainnya” tidak memperkuat makna, tetapi justru membuatnya berputar-putar secara retoris (Kridalaksana, 2001).

Selain dari segi kebahasaan, persoalan ini juga menyentuh pada aspek konseptual dari makna “terbaik” dalam bentuk jamak. Superlatif pada dasarnya merupakan bentuk yang bersifat absolut—ia menunjukkan satu-satunya yang paling menonjol dalam suatu kategori. Maka, frasa seperti "terbaik di antara yang terbaik lainnya" menciptakan hirarki di dalam hirarki, yang pada akhirnya menimbulkan kontradiksi semantik dan logis. Dengan demikian, kita melihat bahwa bahasa yang digunakan dalam retorika sejarah tidak sekadar memuat informasi, melainkan juga mencerminkan cara berpikir tentang sejarah itu sendiri.

15 June 2025

LPDP: Antara Finansial, Reputasi, dan Nasionalisme

Muhammad Nasir

Non Awardee LPDP


Ini bukan jalur bebas hambatan seperti tol Hutama Karya. Ini sirkuit Catalunya: penuh tikungan, tekanan, dan kecepatan. Butuh mental, strategi, dan konsistensi.

—tankari 


Mau tahu berapa penerimaan bulanan atau tahunan awardee LPDP luar negeri? Pertanyaan itu kerap muncul dengan nada penasaran, seolah ingin mengintip rahasia dapur para mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di universitas-universitas terbaik dunia. Maka mari kita buka secara lugas. Rata-rata awardee LPDP luar negeri menerima dana hidup bulanan sebesar USD 1.500 hingga 2.500 tergantung kota dan negara tujuan. 

Misalnya, di London seorang awardee bisa mendapat sekitar GBP 1.200–1.500 per bulan, setara sekitar Rp 25–30 juta. Di New York, angka itu bisa mencapai USD 2.000 per bulan atau sekitar Rp 30 juta. Dalam setahun, angka itu berarti berkisar Rp 300 hingga 450 juta. Jumlah itu belum termasuk biaya kuliah penuh, tiket pesawat PP, visa, asuransi kesehatan, dana buku, tunjangan tesis/disertasi, bahkan dana kedatangan yang setara dua bulan living allowance. 

Jika semua dikalkulasi secara kasar, satu orang awardee bisa mengelola fasilitas pembiayaan negara hingga lebih dari setengah miliar rupiah per tahun.


13 June 2025

Papan Bunga untuk Pak Saridjo

 Muhammad Nasir


Masih terngiang-ngiang di sepanjang jalan percakapan orang-orang di rumah Pak David tadi. Antara ingin ketawa atau mendongkol aku. Ketawa, karena memang itu pantas untuk bahan tertawaan. Mendongkol karena itulah kenyataan yang harus kuhadapi: bekerja total demi penghasilan pada orang yang sebenarnya tidak benar-benar aku senangi. Bukan karena ia buruk, tetapi karena terlalu sulit berakrab-akrab dengannya. 

Hanya karena itu adalah mata air yang harus kujaga, agar kehidupan keluargaku terus berlanjut.

Pak Saridjo bukan orang baru dalam dunia kekuasaan. Ia memulai karier sebagai kepala seksi bidang pertanian di kantor kecamatan, lalu naik perlahan menjadi camat, kepala dinas, hingga dua periode menjadi anggota DPRD kabupaten. 

Meski tak pernah terlalu menonjol, ia dikenal rajin hadir dalam rapat dan pandai berbaur dengan siapa saja. Rekam jejaknya bersih, atau setidaknya, tak tercemar secara resmi. Namanya lumayan harum di kalangan generasi tua yang masih percaya pada idealisme awal reformasi.

"Mengapa Pak Saridjo masih ingin menjabat?"

"Mungkin karena ia butuh papan bunga yang banyak di hari kematiannya!"

No Pain No Gain

Muhammad Nasir


Setelah berdiskusi berjam-jam dengan adik-adik aktivis mahasiswa, saya akhirnya luluh juga. Awalnya saya enggan. Mereka meminta saya menuliskan alasan-alasan kenapa mahasiswa perlu berorganisasi, katanya biar mereka bisa lebih mudah membagikannya ke teman-teman mereka.

“Biar kami bisa lebih mudah share ke teman-teman mahasiswa, bang!” ujar mereka. 

Saya sempat menjawab setengah bercanda, “Enak saja. Saya capek baca buku Kartini Kartono, Robert T. Kiyosaki, Rhenald Kasali, Nurcholish Madjid dan banyak lagi. Kalian juga harus nulisnya sendiri untuk teman-teman kalian.”


Tapi lalu saya berpikir lagi. Mereka memang belum cukup rajin membaca, tapi semangat mereka jujur, dan harapan mereka terlalu tulus untuk ditolak. Ada keinginan kuat dalam diri mereka untuk bergerak, tapi mereka belum punya cukup bahasa untuk menjelaskan mengapa gerak itu penting. Maka saya memutuskan untuk membantu, bukan sebagai pengganti, tapi sebagai pemantik.

Kebetulan pula, libur semester akan segera tiba. Waktu yang biasanya dihabiskan untuk pulang kampung, bersantai, atau sekadar mengejar istirahat. Tapi saya ingin mengingatkan, ini juga waktu yang tepat untuk membangun rencana. 

Pulanglah sejenak, rasakan kembali aroma kampung halaman, dengarkan kembali suara ibu dan suara langit di atas rumahmu. Tapi jangan lupa kembali ke kota ini dengan rencana besar: menjadi mahasiswa yang utuh. Bukan hanya pembaca modul dan pengisi absen, tapi juga pemikir, pelaku, dan pemimpin.

Sebab zaman ini, zaman yang disebut sebagai abad ke-21, menuntut lebih dari sekadar kecerdasan akademik. Ia menuntut kecakapan berpikir kritis, kreativitas, kemampuan kolaborasi, dan komunikasi. 

Dan semua itu tidak semuanya bisa lahir dari ruang kelas. Justru organisasi adalah ladang latihan terbaik. Di sinilah seseorang diuji bukan hanya dengan tugas, tapi dengan konflik, beda pendapat, situasi tak pasti, dan harapan yang seringkali tak sesuai kenyataan.

Lewat organisasi, kita akan mengerti siapa itu manusia dengan segala logikanya, egonya, ketulusannya, dan kadang juga manipulatifnya. Di organisasi pula kita dapat berdiskusi dengan pikiran orang lain, tidak hanya berdebat dengan pikiran sendiri. 

Kita akan belajar bagaimana menjaga komitmen dalam lelah, bagaimana bersuara dalam forum, bagaimana mendengarkan saat ingin menyerang, dan bagaimana tetap hadir meski tak dianggap penting. Kita belajar tentang resiliensi, daya tahan terhadap tekanan, dan kemampuan bangkit dari frustasi sosial.

Organisasi adalah versi kecil dari kehidupan. Bahkan sejak kecil kita sudah mengenalnya, dalam bentuk organisasi domestik bernama keluarga. Maka ketika kita naik satu tahap menjadi mahasiswa, bukankah seharusnya kita pun berani naik satu tahap dalam kesadaran dan tanggung jawab sosial?

***

Tapi mari saya katakan terus terang: berorganisasi itu capek. Berorganisasi itu kadang bikin sakit hati. Kadang kamu merasa tak dihargai, kadang kamu merasa sendirian, dan kadang kamu ingin berhenti saja. 

Tapi hidup juga begitu. Maka daripada menunggu hidup menghajar kamu nanti di luar kampus, lebih baik sekarang mulai belajar capek dan sakit, agar kamu tahu nikmatnya istirahat dan leganya rasa sehat.

No pain, no gain, kata sebuah salep otot terkenal. Rasa pegal akan hilang, tapi pelajaran dari rasa itu akan tinggal. Dan dari proses itu pula kamu akan tahu mana yang benar-benar tangguh dan mana yang cuma pengeluh.

Kita hidup dalam masyarakat yang tidak hanya membutuhkan orang-orang pintar, tapi juga orang-orang tangguh, tahan banting, dan mampu membaca arah. Dan saat lulus nanti, percayalah, yang akan sangat kita butuhkan bukan cuma gelar, tapi juga jaringan pertemanan, akses sosial, dan ruang dukungan. Semua itu bisa kita mulai bangun di organisasi.

Saya tahu, beberapa orang mungkin menjadikan contoh gagal dari aktivis mahasiswa sebagai alasan untuk tidak ikut organisasi. Tapi itu logika yang malas. Kita semua sudah tahu bahwa yang gagal memang tidak layak ditiru. Justru karena kita tahu itu salah, maka yang perlu dicari adalah contoh yang ideal. Dan yang ideal memang selalu sedikit, selalu lebih sulit ditemukan, tapi itulah yang justru patut diperjuangkan.

Berorganisasi bukan berarti melupakan studi. Justru sebaliknya, ia adalah sarana agar studi lebih membumi. Ia bukan pelarian dari kelas, tapi perpanjangan dari pembelajaran.

Maka saya menulis ini, bukan sebagai nasihat dari yang lebih tahu, tapi sebagai pengingat dari yang dulu juga pernah muda dan bingung. Saya percaya, satu gagasan kecil yang lahir dari organisasi, bisa tumbuh menjadi gerakan besar. 

Dan siapa tahu, dari forum-forum kecil tempat kalian biasa rapat dan bertengkar hari ini, lahirlah benih-benih perubahan yang kelak mengubah wajah bangsa.

Yakin Usaha Sampai

08 June 2025

Nama Saya Khan: Ras, Agama, dan Krisis Kewargaan di India Kontemporer

Muhammad Nasir


My name is Khan, and I am not a terrorist.— Rizwan Khan, My Name is Khan (2010)


Kalimat ikonik ini diucapkan oleh tokoh utama dalam film My Name is Khan—seorang pria Muslim pengidap sindrom Asperger—yang menempuh perjalanan panjang demi mengatakan satu hal sederhana: bahwa ia bukan ancaman hanya karena ia seorang Muslim.

Ungkapan itu menjadi suara kolektif dari minoritas yang terjebak dalam pusaran stereotip dan kecurigaan. Ini bukan sekadar kutipan sinematik, tapi gambaran getir dari kondisi sosial-politik India kontemporer.


Dalam konteks global yang semakin mencurigai identitas Islam, dan dalam lanskap politik nasional India yang semakin terpolarisasi, kalimat Rizwan menggambarkan perasaan warga negara yang merasa harus “membuktikan” loyalitasnya hanya karena nama, pakaian, atau keyakinan mereka.

India selama ini dibayangkan sebagai negara demokrasi terbesar di dunia dengan karakter multikultural yang unik. Namun, fakta sosial mutakhir memperlihatkan bahwa demokrasi India tengah diguncang oleh kontradiksi internal: antara janji konstitusional tentang sekularisme dan kenyataan politik mayoritarianisme berbasis agama.

Dua subjudul di bawah ini adalah pengkategorian sebab musabab masalah Islam dan kewargaaan di India Kontemporer: akar lokal dan pengaruh isu global. 

06 June 2025

Membaca Polemik dengan Timbangan Logika dan Wacana Sosial

Oleh: Muhammad Nasir



Polemik seputar keaslian ijazah Mantan Presiden Joko Widodo muncul sebagai fenomena sosial yang tak bisa dilepaskan dari dinamika politik dan kecurigaan publik terhadap legitimasi elite. Meskipun Jokowi sendiri telah menyatakan bahwa ijazahnya adalah sah dan resmi, publik tidak pernah benar-benar disuguhi dokumen tersebut dalam format yang memungkinkan verifikasi independen. Akibatnya, klaim keaslian itu tidak sepenuhnya meredam pertanyaan publik.

Sebaliknya, pihak-pihak yang meragukan keaslian ijazah, seperti Roy Suryo dkk., juga tidak mampu menyodorkan bukti otentik yang menegaskan kepalsuan. Mereka hanya mengandalkan ketidakhadiran bukti dari pihak Jokowi untuk menyimpulkan bahwa ijazah itu fiktif. Hal ini menimbulkan semacam paradoks epistemik: kedua belah pihak saling menuduh tanpa menghadirkan bukti final yang dapat diverifikasi oleh publik secara obyektif.


05 June 2025

Membaca TKVW: Keluarga ‘Matre’ dalam Adat Matri

Oleh: Muhammad Nasir


Tapi jika peran bako melemah atau bahkan tak diakui, atau peran keluarga kaumnya juga tak berkeruncingan,  maka anak-anak ini terpaksa bermamak ke bansos dan berbapak ke open donasi di group WhatsApp.

 

Novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck (TKVW) karya Hamka (ditulis sekitar 1938) sering dibaca sebagai kisah cinta tragis antara Zainuddin dan Hayati. Tapi bila dibaca lebih dalam, novel ini bukan hanya tentang cinta yang kandas. Ia adalah kisah tentang kegagalan struktur keluarga dan salah kaprah dalam memahami adat Minangkabau, khususnya adat matrilineal.

Zainuddin, tokoh utama dalam cerita ini, adalah anak dari seorang Minangkabau yang menikah dengan perempuan Bugis. Karena ibunya bukan orang Minang, Zainuddin ditolak sebagai bagian dari suku ibunya. Padahal dalam adat Minangkabau, suku diturunkan melalui ibu. Sayangnya, garis ibu Zainuddin bukan bagian dari sistem adat lokal, membuatnya tak bersuku, dan karenanya, dianggap tak “berhak”.



Namun masalahnya tak berhenti di sana. Zainuddin juga terkesan tak punya bako, yaitu pihak keluarga ayah yang bisa membelanya. Mirip dengan istilah Ipank (2016) "Baayah lai, babako tido", meski dalam cerita dan konteks yang berbeda. Dalam sistem adat, bako seharusnya hadir memberi dukungan moral dan sosial, apalagi dalam situasi penolakan seperti ini. Tapi dalam kisah ini, fungsi bako nyaris tak terdengar. Ia hilang, tak tampak, dan tak peduli. Zainuddin menjadi anak biologis dan ideologis Minang tanpa rumah sosial, korban dari adat yang kehilangan fungsinya, atau lebih tepatnya: adat yang kehilangan jiwa aslinya.

04 June 2025

Dari Balik Panggung Humas

 Muhammad Nasir


Ada sekitar sebelas tahun saya bekerja sebagai humas di perguruan tinggi: pertama kali antara tahun 2003 hingga 2013, lalu kembali lagi mengemban peran yang sama mulai tahun 2017. Dalam kurun waktu itulah saya menjadi saksi hidup dari begitu banyak wajah yang datang dan pergi, pejabat yang berganti, gaya kepemimpinan yang berubah: tapi dengan pola yang, anehnya, terasa tetap.

Saya menyaksikan parade para tamu penting: ilmuwan bereputasi, politisi ulung, hingga para menteri yang datang dengan pengawalan dan protokol yang kadang lebih sibuk daripada substansi pertemuan itu sendiri. Saya pernah berdiri di balik layar, menunggu aba-aba, mengatur posisi, menyusun kalimat sambutan, memastikan acara berjalan dengan sempurna.


Intinya: Memindai Batang Kandis

Muhammad Nasir


Ini adalah titik kisar dalam perjalanan karir saya sebagai dosen. Ketika saya merasa perlu berhenti sejenak dan bertanya: ke mana sebenarnya arah yang sedang saya tempuh? Rutinitas administratif, laporan-laporan, dan pertemuan-pertemuan yang sering kali tidak berdampak langsung pada mutu akademik, mulai terasa mengganggu. 

Semakin hari, saya merasakan jarak antara tugas-tugas institusional dengan hal-hal yang pada awalnya membuat saya mencintai dunia akademik: berpikir, meneliti, membaca, menulis, dan berdialog dengan mahasiswa.

Saya juga menyadari bahwa jabatan struktural di lingkungan kampus bukanlah tempat saya berkembang. Alih-alih memberi ruang untuk berkontribusi lebih luas, jabatan itu sering kali menjadi bagian dari skenario formal yang tidak terlalu saya saya yakini nilainya. Setidaknya berdasarkan apa yang sudah terjadi dan sedang berjalan.









03 June 2025

Hall of Fame Para Pejuang

Catatan kecil usai bedah novel Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawi karya Khairul Jasmi di Perpustakaan Daerah Sumatera Barat. 

Muhammad Nasir


George McTurnan Kahin (1952) menyebut Sumatra Westkust sebagai "lahan subur radikalisme dan nasionalisme awal". Di wilayah ini, pendidikan dan Islam berpadu menciptakan kaum muda berpikiran maju. Pendidikan bukan hanya soal menghafal, tetapi membentuk daya kritis dan etos merdeka.

 Taufik Abdullah (1971) bahkan menyebut gerakan Kaum Muda di Minangkabau sebagai model gerakan sipil berbasis etika dan argumentasi. Mereka tidak hanya belajar di sekolah-sekolah Barat, tetapi juga di surau dan madrasah, membentuk sintesis unik antara rasionalitas modern dan spiritualitas lokal. 

Di sinilah kekhasan Sumatra Westkust tampak: daerah pinggiran yang justru melahirkan pusat-pusat kesadaran nasional.

02 June 2025

Membaca Ulang Hubungan Agama dan Kejahatan

Oleh Muhammad Nasir


Tulisan ini lahir dari kemacetan menulis riset saya yang mengadopsi analisis wacana sosial Marc Angenot dan teori konstruksi realitas sosial Peter L. Berger dan Thomas Luckmann. Maka tulisan inilah yang bisa saya tulis, mana tahu nanti ada gunanya.

Kita mulai dari wacana Indonesia religius, tetapi kriminalitas kok tinggi? Ada juga wacana Indonesia mabok agama, makanya tak maju-maju. Nah, ini menarik untuk ditelusuri. 


Lubuk Lintah, Di Sini Aku Menetas dan Beranak Pinak

Muhammad Nasir


(1) Memory 1996-2002

Namanya Lubuk Lintah, tapi anehnya… aku tak pernah benar-benar menemukan lubuk, apalagi lintah di sini. Yang ada justru belut sawah yang jinak di lahan basah sebelah barat kampus, arah Parak Jigarang. Mungkin itulah satu-satunya fauna air yang bisa disapa sambil jalan kaki sambil mikir: Besok mid semester apa ujian semester, ya?

Jalanan kampus ini tergolong rapi dan kokoh. Sempit, iya. Tapi cukup untuk dilewati satu motor (itupun kalau ada), satu becak sate, dan dua mahasiswa yang sedang adu argumen soal “mana yang lebih penting: epistemologi atau nasi bungkus?”


Di antara gedung-gedung bersahaja, tumbuh pohon-pohon besar yang menaungi kami. Ada yang akarnya menonjol keluar seperti tangan-tangan tua yang siap merangkul. Di situlah kami duduk bersila, bersandar di batangnya, bergantung di dahannya, dan berlindung di bawah daunnya, dari panas, dari gerimis, dan kadang dari kegelisahan hidup.