Muhammad Nasir
Pengajar Sejarah UIN Imam Bonjol Padang
Sejarah bukanlah cermin pasif atas masa lalu, melainkan konstruksi naratif yang dibentuk oleh pilihan-pilihan bahasa, struktur cerita, dan retorika —Hayden White (1973)
Sejarah nasional yang diklaim sebagai official
history di banyak negara, termasuk Indonesia, kerap terjebak dalam bias
subjektif dan narasi yang tidak proporsional, terutama ketika menuliskan peran
tokoh-tokoh (tepatnya: pelaku sejarah) dalam sejarah bangsa. Akibatnya, historiografi
yang seharusnya berfungsi sebagai rekonstruksi kritis atas masa lalu, justru
berubah menjadi semacam buku profil organisasi, yang lebih bertujuan
mengukuhkan identitas simbolik dan kebanggaan institusional ketimbang
menjelaskan kompleksitas historis secara analitis.
Dalam konteks ini, penggunaan frasa dan kata
superlatif seperti “tokoh paling berjasa,” “putra terbaik bangsa,” atau “pemimpin
tak tergantikan” menjadi ciri khas buku sejarah nasional yang
memperlihatkan kecenderungan glorifikasi daripada pencarian kebenaran historis.
Bahwa historigrofi secara ilmu bertujuan mencari kebenaran ilmiah tentang masa
lalu.
Salah satu contoh yang mencolok dari fenomena
tersebut dapat ditemukan dalam ungkapan: “Joko Widodo adalah salah satu
putra terbaik di antara putra-putra terbaik lainnya yang dimiliki bangsa ini.”
Pernyataan seperti ini tampaknya ingin memberikan penghormatan, tetapi secara
linguistik dan semantik menimbulkan dua persoalan berupa: redundansi dan
implikasi hirarkis yang tidak logis.
Ungkapan tersebut merupakan bentuk pleonasme, yakni
pengulangan makna yang tidak perlu. Karena jika seseorang sudah dikatakan
sebagai "salah satu yang terbaik", maka dia sudah termasuk dalam
kelompok yang dimaksud. Penambahan “di antara putra-putra terbaik lainnya”
tidak memperkuat makna, tetapi justru membuatnya berputar-putar secara retoris
(Kridalaksana, 2001).
Selain dari segi kebahasaan, persoalan ini juga
menyentuh pada aspek konseptual dari makna “terbaik” dalam bentuk jamak.
Superlatif pada dasarnya merupakan bentuk yang bersifat absolut—ia menunjukkan
satu-satunya yang paling menonjol dalam suatu kategori. Maka, frasa seperti "terbaik
di antara yang terbaik lainnya" menciptakan hirarki di dalam hirarki,
yang pada akhirnya menimbulkan kontradiksi semantik dan logis. Dengan demikian,
kita melihat bahwa bahasa yang digunakan dalam retorika sejarah tidak sekadar
memuat informasi, melainkan juga mencerminkan cara berpikir tentang sejarah itu
sendiri.