Pages - Menu

06 June 2025

Membaca Polemik dengan Timbangan Logika dan Wacana Sosial

Oleh: Muhammad Nasir



Polemik seputar keaslian ijazah Mantan Presiden Joko Widodo muncul sebagai fenomena sosial yang tak bisa dilepaskan dari dinamika politik dan kecurigaan publik terhadap legitimasi elite. Meskipun Jokowi sendiri telah menyatakan bahwa ijazahnya adalah sah dan resmi, publik tidak pernah benar-benar disuguhi dokumen tersebut dalam format yang memungkinkan verifikasi independen. Akibatnya, klaim keaslian itu tidak sepenuhnya meredam pertanyaan publik.

Sebaliknya, pihak-pihak yang meragukan keaslian ijazah, seperti Roy Suryo dkk., juga tidak mampu menyodorkan bukti otentik yang menegaskan kepalsuan. Mereka hanya mengandalkan ketidakhadiran bukti dari pihak Jokowi untuk menyimpulkan bahwa ijazah itu fiktif. Hal ini menimbulkan semacam paradoks epistemik: kedua belah pihak saling menuduh tanpa menghadirkan bukti final yang dapat diverifikasi oleh publik secara obyektif.


Dalam kondisi seperti ini, ijazah berubah dari sekadar dokumen administratif menjadi objek wacana publik. Ia menjadi semacam simbol yang terus-menerus diproduksi ulang, didaur melalui berbagai saluran media sosial, forum diskusi, dan kanal opini publik. Ijazah yang secara material tidak hadir justru menjadi pusat dari kehadiran diskursif yang sangat kuat. Ia hadir dalam ketidakhadirannya.

Fenomena ini menyoroti bagaimana masyarakat modern semakin bergantung pada representasi simbolik ketimbang bukti fisik. Apa yang tidak bisa dilihat secara langsung, justru menjadi bahan bakar utama bagi produksi wacana. Ini memperlihatkan bahwa keabsahan sosial tidak selalu dibangun atas dasar keberadaan bukti konkret, melainkan atas dasar persepsi, kepercayaan, dan afiliasi politik.

Dengan demikian, wacana ijazah Jokowi memperlihatkan bagaimana objek administratif biasa dapat berubah menjadi arena pertarungan ideologis. Di tangan para partisan, ijazah bukan lagi sekadar tanda lulus, tetapi menjadi penanda sah atau tidaknya seorang pemimpin. Ijazah telah direduksi menjadi simbol kekuasaan itu sendiri, bukan sekadar legitimasi formal.

Timbangan Logika

Secara logis, situasi ini menunjukkan adanya penggunaan sesat pikir (logical fallacies) yang berulang. Pihak yang menuduh ijazah itu palsu seringkali menggunakan argumentum ad ignorantiam, yakni menyatakan bahwa karena keasliannya tidak dapat dibuktikan secara publik, maka ijazah itu pasti palsu. Padahal, logika ini tidak sahih: ketidakmampuan membuktikan sesuatu bukanlah bukti bahwa sesuatu itu tidak ada.

Sebaliknya, pihak pendukung Jokowi seringkali menggunakan logika otoritas (argumentum ad verecundiam), yakni menganggap bahwa karena lembaga tertentu sudah menyatakan ijazah itu asli, maka tidak perlu lagi mempertanyakan kebenarannya. Ini pun bermasalah secara logis, karena otoritas bukanlah jaminan kebenaran, terutama jika verifikasi independen tidak dibuka.

Kebuntuan epistemik ini menciptakan kondisi yang disebut dalam filsafat logika sebagai "aporia" —yakni kebingungan total dalam penalaran, di mana klaim tidak bisa ditentukan kebenarannya karena kurangnya akses terhadap bukti. Dalam situasi aporia, publik tidak punya pegangan pasti, dan akhirnya menilai berdasarkan preferensi politik atau perasaan subjektif.

Dalam kondisi ini, logika publik bergeser dari rasionalitas ke afeksionalitas. Validitas argumen tidak lagi menjadi acuan utama, melainkan emosi, identitas politik, dan keyakinan personal. Ini memperlihatkan bagaimana logika dapat dikalahkan oleh persepsi, terutama ketika bukti tidak tersedia atau tidak transparan.

Jika kita membawa kerangka logika formal, maka klaim yang tidak bisa diuji atau diverifikasi termasuk dalam kategori "non-falsifiable claims." Ijazah Jokowi, dalam kerangka ini, berubah menjadi pernyataan yang tidak bisa diuji secara empiris karena absennya objek bukti. Maka, diskursus tentangnya tidak bisa diselesaikan dalam arena logika formal.

Dengan demikian, argumen-argumen dalam wacana ini tidak memenuhi kriteria logika deduktif maupun induktif. Ia lebih menyerupai logika retoris atau persuasif, yang bertujuan membentuk opini, bukan mencapai kebenaran. Di sinilah terlihat bahwa logika publik lebih menyerupai pertarungan naratif ketimbang proses pembuktian ilmiah.

Hal ini memperlihatkan bahwa dalam masyarakat pascakebenaran, kebenaran tidak lagi diukur dari akurasi, tetapi dari resonansi. Yang paling banyak diulang dan diyakini, akan dianggap benar, terlepas dari apakah ia bisa dibuktikan secara logis atau tidak.

Perspektif Wacana Sosial (Angenot)

Dalam pendekatan analisis wacana sosial ala Marc Angenot, wacana dipandang sebagai medan pertarungan antar narasi yang bersifat hegemonik. Wacana bukan sekadar teks, tetapi jaringan kepentingan sosial, ideologis, dan historis yang saling berkelindan. Dalam konteks ini, pertanyaan tentang keaslian ijazah Jokowi bukan hanya soal administrasi, melainkan soal siapa yang berhak membentuk kenyataan sosial.

Angenot menekankan bahwa wacana dominan tidak selalu lahir dari kebenaran, melainkan dari keberhasilan dalam membungkam atau mendominasi wacana tandingan. Dalam kasus ijazah, pemerintah dan pendukung Jokowi menguasai kanal institusional dan representasi media arus utama, sementara pihak oposisi menggunakan media alternatif dan gerilya digital untuk menyuarakan keraguan.

Ijazah Jokowi dalam perspektif ini menjadi "objek kosong yang penuh makna". Ia tidak hadir sebagai dokumen otentik, tetapi justru ke-absen-annya itulah yang membuatnya sangat kuat sebagai simbol. Ijazah menjadi locus dari pertempuran simbolik tentang keabsahan kekuasaan, kredibilitas pendidikan, dan integritas pejabat publik.

Lebih jauh lagi, Angenot akan memandang bahwa publik tidak sedang mencari kebenaran objektif, melainkan mencari posisi dalam kontestasi ideologis. Apakah Anda percaya ijazah itu asli atau palsu, lebih ditentukan oleh posisi politik Anda daripada logika atau bukti.

Wacana ini juga memperlihatkan bagaimana masyarakat mengonstruksi realitas melalui narasi, bukan melalui bukti. Ijazah menjadi titik temu antara yang tampak dan yang tidak tampak: dokumen administratif yang tidak hadir secara fisik, tetapi memiliki daya efek sosial yang sangat besar.

Dengan begitu, wacana ijazah adalah contoh ideal dari bagaimana masyarakat pascamodern menghidupi dunia sebagai teks. Segala sesuatu bisa dibaca, ditafsirkan, dan dipertentangkan —termasuk sesuatu yang tidak pernah hadir.

Angenot menunjukkan bahwa dalam medan wacana sosial, kebenaran tidak pernah final. Yang ada hanyalah narasi yang lebih dominan dari narasi lain. Maka, pertarungan tentang ijazah adalah pertarungan siapa yang lebih piawai mengelola opini, bukan siapa yang lebih logis.

Sintesis Logika dan Wacana

Melalui kasus ijazah Jokowi, dapat dipelajari bahwa logika dan wacana tidak selalu sejalan. Secara logika, tidak ada kesimpulan sahih yang bisa ditarik tanpa bukti. Namun secara sosial, kesimpulan tetap diambil dan diyakini berdasarkan narasi yang dominan. Dalam ruang publik kontemporer, kekuatan logika seringkali dikalahkan oleh kekuatan representasi.

Kontroversi ini memperlihatkan bagaimana masyarakat bisa terjebak dalam logika non-verifikatif, yang bergantung pada kepercayaan dan afiliasi. Sementara itu, wacana sosial membingkai isu ini sebagai pertarungan simbolik yang lebih besar dari sekadar dokumen. Ijazah bukan lagi bukti akademik, tetapi metafora dari pertarungan legitimasi politik.

Maka, logika dalam masyarakat pascakebenaran bukan lagi soal validitas proposisi, melainkan soal resonansi wacana. Dan dalam dunia seperti itu, yang tak hadir bisa lebih kuat dari yang hadir, dan yang tak terbukti bisa lebih dipercaya daripada yang terbukti.

Dengan demikian, esai ini mengajak semua orang untuk merenungkan ulang fungsi logika dalam kehidupan publik. Logika tetap penting, tetapi ia hanya efektif ketika didukung oleh akses terhadap bukti dan etika komunikasi yang menjunjung transparansi. Tanpa itu, logika tinggal menjadi suara sunyi di tengah hiruk-pikuk narasi yang saling bertarung tanpa akhir.

Yang punya ijazah tentu lebih tahu, apa maksud dirinya mengubah objek fisik ijazah menjadi teks. Bisa jadi karena objek fisiknya tidak ada, atau jika ada, sengaja membuat medan pertarungan wacana. 


No comments:

Post a Comment