Pages - Menu

02 June 2025

Membaca Ulang Hubungan Agama dan Kejahatan

Oleh Muhammad Nasir


Tulisan ini lahir dari kemacetan menulis riset saya yang mengadopsi analisis wacana sosial Marc Angenot dan teori konstruksi realitas sosial Peter L. Berger dan Thomas Luckmann. Maka tulisan inilah yang bisa saya tulis, mana tahu nanti ada gunanya.

Kita mulai dari wacana Indonesia religius, tetapi kriminalitas kok tinggi? Ada juga wacana Indonesia mabok agama, makanya tak maju-maju. Nah, ini menarik untuk ditelusuri. 


Angenot (1992,1999) menegaskan bahwa wacana publik bukan sekadar cermin realitas, melainkan arena konstruksi makna di mana realitas sosial dibentuk, diperkuat, dan dipertentangkan melalui bahasa, simbol, dan narasi. Dalam konteks Indonesia, narasi “Indonesia mabok agama” sering muncul di media sosial, menggambarkan paradoks antara religiusitas yang tinggi dengan kriminalitas yang juga tinggi. 

Lalu, bagaimana wacana itu dikonstruksi? Kita pindah ke konstruksi sosial atas realitasnya Berger & Luckmann (1966). 

Menurut perspektif Berger dan Luckmann (1966), kenyataan sosial bukan fakta yang statis, melainkan dibentuk dan dipertahankan melalui interaksi sosial dan pengulangan makna. Oleh karena itu, wacana tentang “tingginya religiusitas” dan “tingginya kriminalitas” perlu dibaca secara lebih kritis. Ia seringkali mengabaikan dimensi penting seperti kualitas pengalaman keberagamaan, peran institusi, dan faktor struktural yang turut membentuk lanskap kriminalitas di masyarakat.

Penelitian empiris menunjukkan bahwa religiusitas yang sungguh-sungguh justru memiliki efek preventif terhadap perilaku menyimpang. Johnson, Jang, Larson, dan Li (2001), dalam studi longitudinal terhadap remaja dan dewasa muda di Amerika Serikat, menunjukkan bahwa keterlibatan dalam aktivitas keagamaan secara signifikan mengurangi kecenderungan kriminal. 

Survei BPS (2020) juga menemukan bahwa komunitas dengan intensitas pengajian dan ibadah yang tinggi cenderung memiliki tingkat kejahatan yang lebih rendah. Mereka yang terbiasa hadir dalam pengajian, membangun jaringan sosial positif di lingkungan masjid, dan menjadikan nilai-nilai agama sebagai orientasi hidup, umumnya memiliki kontrol diri yang lebih kuat dan ketahanan moral yang tinggi. Bahkan saat situasi yang secara struktural membuka peluang mereka untuk melakukan tindak kriminal, mereka justru menutup peluang kejahatan itu untuk dirinya dan untuk orang lain. 

Namun, pemahaman ini tentu tidak boleh membuat kita menyederhanakan masalah. Kriminalitas bukan sekadar produk dari moral individu yang lemah. Seperti yang diingatkan oleh Garland (2001), kriminalitas adalah gejala kompleks yang dipicu oleh interaksi antara faktor sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Ketimpangan distribusi kekayaan, lemahnya kehadiran negara dalam penegakan hukum, dan rendahnya akuntabilitas institusi publik adalah medan subur bagi tindakan kriminal, tak peduli seberapa relijius masyarakatnya.

Dalam konteks ini, wacana “Indonesia mabok agama” jangan-jangan bisa dibaca sebagai strategi disrupsi makna yang justru mengalihkan perhatian publik dari kegagalan institusional negara ke isu moralitas personal.

Jangan-jangan, frasa “mabok agama” justru diproduksi oleh aktor negara yang korup dan didistribusikan secara sistematis melalui jaringan buzzer digital untuk menciptakan disorientasi publik. Kritik terhadap kemunduran institusi hukum, ketimpangan sosial, dan penyalahgunaan kekuasaan diubah menjadi sinisme terhadap ekspresi keagamaan rakyat kecil.

Di sini, agama dijadikan kambing hitam, bukan karena ia gagal sebagai sumber etika, melainkan karena terlalu potensial sebagai sumber kritik terhadap ketidakadilan. Maka, pembingkaian “mabok agama” tidak lahir dari keresahan akademik yang jernih, melainkan dari desain kuasa yang ingin meredam protes sosial sambil terus menormalisasi kegagalan struktural.

Data global juga menunjukkan bahwa negara-negara dengan tingkat religiusitas tinggi tetap bisa memiliki angka kriminalitas tinggi jika faktor non-agama seperti kemiskinan, pengangguran, korupsi sistemik, dan kegagalan institusional tidak ditangani. Religiusitas, dalam hal ini, hanya dapat berperan sebagai rem moral jika dibarengi dengan lingkungan sosial yang sehat dan sistem hukum yang adil. 

Ketika negara absen atau bahkan menjadi bagian dari masalah, maka ekses negatif akan tetap muncul. Dalam konteks ini, peluang kejahatan dan kriminalitas tentu muncul dari masyarakat yang tidak rajin ibadah atau dari mereka yang tidak ikut aktivitas sosial keagamaan di lingkungan komunalnya. 

Dengan menggunakan pendekatan analisis wacana sosial Marc Angenot, kita diajak untuk tidak menerima wacana dominan begitu saja, tetapi menggali bagaimana realitas sosial tentang agama dan kriminalitas dibentuk, siapa yang diuntungkan darinya, serta bagaimana narasi itu membentuk opini publik dan arah kebijakan. 

Hanya dengan cara ini, kita dapat merumuskan strategi yang tidak hanya menuduh mereka yang mengandalkan “iman pribadi” sebagai aktor parasox, tetapi juga menuntut perbaikan institusi dan kehadiran negara yang nyata dalam menegakkan keadilan dan menjaga keamanan sosial dari mereka yang tidak mengandalkan iman pribadi dan kesolehan sosial. 


---


Daftar Rujukan:

Angenot, M. (1999). Social discourse analysis: Outlines of a research project. Yale French Studies, (96), 199–212. 

Berger, P. L., & Luckmann, T. (1966). The social construction of reality: A treatise in the sociology of knowledge. Anchor Books.

Badan Pusat Statistik. (2020). Statistik kriminal 2020. 

Garland, D. (2001). The culture of control: Crime and social order in contemporary society. Oxford University Press.

Glock, C. Y., & Stark, R. (1965). Religion and society in tension. Rand McNally.

Johnson, B. R., Jang, S. J., Larson, D. B., & Li, S. D. (2001). Does adolescent religious commitment matter? A reexamination of the effects of religiosity on delinquency. Journal of Research in Crime and Delinquency, 38(1), 22–44.

Pargament, K. I. (2007). Spiritually integrated psychotherapy: Understanding and addressing the sacred. The Guilford Press

No comments:

Post a Comment