Muhammad Nasir
Mereka cukup lewat jalur lobi, konspirasi Ormas, atau kedekatan dengan pejabat—seolah ibadah haji adalah fasilitas eksklusif yang bisa dinegosiasikan. Ini bukan hanya ketidakadilan, ini penghinaan terhadap warga kecil yang sabar menabung.
Amak saya kini berusia 73 tahun. Berdasarkan estimasi keberangkatan haji dari Kementerian Agama, beliau baru akan diberangkatkan pada tahun 2030—artinya sekitar usia 78 tahun. Itu usia yang sudah sangat renta, memaksa saya membayangkan bagaimana beliau akan menunaikan rukun haji yang menuntut fisik dan ketegaran—dalam kondisi yang melemah di makan usia.
Sementara itu, saya menyaksikan dengan penuh kemarahan bahwa ada oknum yang melompati antrean—bukan karena sabar menunggu dengan resmi, tetapi karena mereka memiliki akses. Mereka cukup lewat jalur lobi, konspirasi Ormas, atau kedekatan dengan pejabat—seolah ibadah haji adalah fasilitas eksklusif yang bisa dinegosiasikan. Ini bukan hanya ketidakadilan, ini penghinaan terhadap warga kecil yang sabar menabung.
Lebih menyakitkan lagi, kebijakan pemerintah menambah luka ini. Di tahun 2025, jumlah petugas haji Indonesia dipangkas drastis—dari sekitar 4.200 petugas menjadi hanya sekitar 2.100 orang . Jadi, rasio pendampingan yang sebelumnya ideal—sekitar satu petugas untuk 50 jemaah—mendadak menjadi satu petugas untuk setiap 100 jemaah . Artinya, jamaah lanjut usia, termasuk Amak saya, akan pribadi menggantungkan diri pada sistem yang semakin pincang!
Langkah seperti ini—memangkas petugas demi alasan efisiensi atau digitalisasi—seolah merampas hak jemaah untuk mendapatkan pendampingan manusiawi dan layak. Ketika birokrasi dan kebijakan malah memperparah penderitaan rakyat kecil, bukankah itu bentuk kegagalan moral negara dalam melindungi kewajiban ibadah?
Semua kekerasan birokrasi itu tidak pernah disuarakan oleh Amak. Beliau hanya menunggu, sabar, tawakal. Tidak pernah menuntut keadilan—yang ia pinta hanyalah keikhlasan dan kesempatan. Tapi saya, sebagai anak, menderita dalam bisu: takut tidak mampu mendampingi dalam momen spiritual yang mungkin menjadi yang terakhir. Bayangan Amak yang renta, berjalan tanpa sandaran keluarga di Tanah Suci, adalah luka yang menyesak dalam hati.
Saya mengikat pengharapan saya pada doa—semoga Allah punya jalan tak terduga untuk memudahkan beliau menunaikan haji lebih cepat. Karena pada sistem yang ada, saya sudah kehilangan kepercayaan.
Pengurangan drastis jumlah petugas haji Indonesia, dari 4.200 (tahun-tahun sebelumnya) menjadi hanya sekitar 2.100 orang pada 2025—hanya setengah dari jumlah ideal, meski kuota jemaah tetap besar. Kebijakan ini menjadi titik krusial, karena saat jumlah petugas saja belum ideal, dipangkas drastis akan menjadi tantangan besar dalam menjaga kualitas pelayanan .
Pengurangan ini bagaikan mencuri sedikit akses bagi rakyat kecil—hilangnya pelayan manusiawi dan perhatian yang seharusnya menjadi hak setiap jemaah. Ini bukan sekadar efisiensi, tapi perampokan rasa aman dan perhatian yang layak.
Inilah yang saya rasakan beberapa tahun terakhir. Kecewa, marah dan benci melihat orang yang berangkat haji berkali-kali dengan jalur anu-anu itu. Amarah saya tumbuh karena ketidakadilan sistemik yang memaksa orang tua renta mengantri terlalu lama, sementara sistemnya sendiri memangkas dukungan secara brutal. Rasa lirih saya memudar, tapi doa tetap menjadi penopang:
Semoga Allah punya rencana lain—semoga pintu keberkahan terbuka lebih awal untuk Amak. Karena pada sistem, saya tak lagi punya harapan; hanya pada kasih sayang dan keadilan Ilahi saya bergantung.
No comments:
Post a Comment