29 May 2008

Rapun


Oleh: Muhammad Nasir

Mak Maun, perempuan beranjak tua itu kembali termenung-menung di palanta depan rumahnya. Sendiri menikmati hampanya senyap. Hanya ada seekor anjing di halamannya. Sekedar untuk penjaga rumah. Saat-saat seperti inilah ia sangat mersakan dan memaknai kepunahannya. Sebelumnya ia tidak begitu memikirkan perkataan orang-orang tentangnya.

"Beginilah rasanya jadi orang punah" bisik Mak Maun selaras dengan hembusan angin yang membuatnya terkantuk-kantuk.

"Di mana kamu sekarang, Maun? Apa yang kamu lakukan bersama istrimu di Mudiak sana?"

Untung saja orang kampung tidak menganggapnya gila. Orang-orang sudah mengetahui kebiasaan Mak Maun di sore hari. Berdendang melagukan nyanyian rindu perempuan-perempuan Minang.

"Aku sudah katakan, kenapa harus jauh-jauh babini ke kampung orang? Apa di sini sudah tidak ada lagi perempuan yang ingin menjadi suamimu?"

Mak Maun kembali teringat saat-saat Maun, putra tungga babeleang bersikeras hendak menikah dengan gadis muda dari kampung Mudiak. Mak Maun sudah habis alasan untuk mencegah niat Maun. Meski alasan utama Mak Maun cuma tak ingin putra satu-satunya itu jauh dari sisinya.

Di Minangkabau, jika anak laki-laki menikah ia akan tinggal di rumah istrinya. Seandainya Mak Maun berhasil mencegah Maun, dan Maun bersedia menikah dengan orang kampungya, mungkin saja setiap saat Maun bisa pulang ke rumah ibunya untuk melihat kesedihan dan kesepian yang dialami perempuan gaek itu.

"Mak, bukan aku tidak mau menikah dengan orang kampung sini. Tetapi apa mak tidak tahu kalau setiap saat aku mencintai gadis sini, selalu ditentang habis-habisan oleh orang tuanya. Meskipun anak gadisnya sudah menyembah-nyembah mohon dinikahkan denganku? Mak, katanya kita ini orang-orang palasik, aku anak palasik!"

Palasik itu juga manusia biasa, hanya saja mereka berperangai aneh lagi mengerikan, yaitu gemar memakan daging dan tulang orang mati yang sudah dikubur. Ada juga yang berpendapat, palasik itu suka menghisap darah.

Kata orang, jika seseorang yang berperangai palasik bertemu dengan seorang anak berusia di bawah tiga tahun atau anak yang dalam gendongan ibunya, bila digoda seperti layak biasanya seseorang menggoda anak kecil, maka sakitlah anak tersebut. Atau ditatap melalui mata batinnya, maka sehari atau dua hari kemudian sakitlah anak itu. Ia demam berkepanjangan, suhu badannya meninggi, badannya menjadi kurus, kulitnya mengeriput, matanya selalu bercirit, bila menangis seperti berhiba-hiba, jika tidak segera diobati, dipastikan anak itu akan meninggal dunia.

Mak Maun terhenyak. Meski sudah berulangkali ia menyatakan bahwa ia bukan palasik, tetapi orang kampung tidak pernah peduli. Sekali palasik tetap palasik. "Mana ada maling yang mengaku" demikian analogi mereka.

Anjing putih kesayangan Mak Maun menyalak. Entah apa yang disalaknya.
"Husy… diam. Gara-gara kau anjing sial, aku dan keluargaku dituduh palasik" umpat Mak Maun.

Entah mengapa, anjing putih itupun menjadi penguat tuduhan orang kepada Mak Maun. Dalam cerita palasik disebutkan, anjing putih itu muncul secara tiba-tiba. Anjing itulah nantinya yang datang menyeruak di kegelapan malam, barulah sesudah itu muncul sang palasik.

Kata orang badannya besar sebesar gajah, daun telinga lebar selebar nyiru dan wajahnya hitam menakutkan. Maka dikeluarkannya mayat anak yang baru dikubur itu dengan lidi keramatnya dan segera dibawa pulang ke rumah untuk disembelih.

Apabila seseorang yang diduga berperangai palasik datang ke rumah seorang ibu yang mempunyai anak kecil, maka si empunya rumah atau yang lainnya segera mengu¬nyah pinang sinawal atau pinang penawar lalu disemburkan kepada tamu yang tidak diundang itu. Kalau benar seorang palasik, ketika itu juga jatuhlah ia terguling. Bercucuran keringatnya dan dari mulutnya keluar air liur berbusa, tak obahnya seperti orang diserang penyakit ayan.

Namun yang umum dilakukan or¬ang, ialah membuat sebungkus obat penangkal yang diletakkan di dalam baju atau selimut anak yang dilindungi itu. Adapun isi bungkusan tersebut ialah obat penyembur seperti lada kecil (merica hitam), dasun (bawang putih tunggal), pinang sinawal, buah pala, cengkeh dan kunyit. Dengan demikian palasik tidak akan berani mendekat, apalagi mengusik anak yang telah diberi penangkal tersebut.

"Aku tidak pernah jatuh terguling. Bercucuran keringat dan dari mulutku keluar air liur berbusa, tak obahnya seperti orang diserang penyakit ayan. Jelas aku bukan palasik" Mak Maun menyesali orang-orang kampung.

Tapi, lagi-lagi mana peduli orang-orang kampung, meski Mak Maun mengaku orang biasa layaknya perempuan-perempuan lain di kampungnya.

Kata orang-orang kampung, "palasik itu ialah manusia biasa seperti kita-kita juga. Dalam pergaulan sehari-hari mustahil dapat dibedakan mana yang palasik dan mana pula yang bukan. Orang berperangai palasik itu tidak hilang bangsa dalam adat. Sebab mereka turunan yang jelas asal usulnya dan bukan berasal dari bangsa budak.

Dalam jamuan yang terkembang atau medan yang sekata, mereka dapat setanding duduk. Demikian juga mereka makan dapat sejambar (makan bersama satu talam atau piring besar) dengan orang lain yang tidak berperangai palasik. Kalau ia seorang penghulu, duduk sama rendah dan tegak sama tinggi dengan penghulu lain di nagarinya.

Hanya saja yang dikhawatirkan orang, ialah kalau-kalau terambil menjadi urang sumando (menantu laki-laki). Bila hal semacam itu terjadi, bisa celaka tiga belas. Sebab anak-cucu kaum tersebut akan berperangai palasik pula seperti bapaknya.

"Maun juga bukan palasik. Ia pemuda biasa" gumam Mak Maun.
"Mauun, Maun. malangnya nasibmu nak"

Bersamaan dengan azan maghrib, Mak Maun masuk ke rumah, hendak menunaikan shalat Maghrib.

Mak Maun menghela nafas sepanjang tubuh rentanya. Maun putranya memang pantas membenci orang kampungnya. Gara-gara tuduhan palasik yang tidak pernah ada bukti dan kebenarannya, Maun terpaksa berkali-kali putus cinta. Kalau saja Maun tidak ia sekolahkan ke pesantren Angku Katik, mungkin saja Maun sudah bunuh diri. Rasa marah inilah yang membuat Maun bersikukuh kawin dengan Herni anak kampung Mudiak yang jaraknya kurang lebih 90 Km.

Mak Maun kembali mengingat peristiwa itu.

"Maun, Kampung Mudiak itu jauh. Mak takut, tak kuat menjenguk cucu mak nantinya".

"Jauh Mak? Tidak Mak. Dulu memang jauh, karena Mak dulu ke sana pakai pedati. Sekarang ada bus Mak".

Sekarang apa buktinya? Maun tidak pernah lagi pulang menjenguk badan tua itu semenjak menikah delapan bulan yang lalu. Mak Maun merasakan jauhnya Kampung Mudiak itu dalam kesepiannya.


Seusai shalat maghrib, Mak Maun kembali termenung. Masih bermukena di atas sajadah lusuh.

"Terasa benar malang nasibku sebagai orang punah. Siti, kenapa umurmu begitu pendek. Coba saja kau dan anakmu hidup, mungkin masih ada penerus keturunan kita"

Siti adalah adik perempuan Mak Maun. Dua puluh lima tahun yang lalu Siti meninggal dalam usia yang masih sangat muda, enambelas tahun. Siti meninggal waktu melahirkan bayi pertamanya yang kebetulan perempuan. Limabelas belas menit setelah melahirkan Siti pun pergi menghadap ilahi. Kini tinggal bayi perempuan merah. Harapan kembali muncul. Namun harapan itu tidak bertahan lama. Dua hari setelah kematian Siti, bayi perempuan itupun menyusul ibunya ke alam baka.

Di Minangkabau, perempuan adalah pelanjut silsilah keturunan. Maklum Minangkabau menganut system matrilineal, menurut garis ibu. Suku seseorangpun mengikut kepada suku ibu.

Duka masih terus berlanjut. Belum lagi kering tanah pekuburan muncul lagi isu, bayi perempuan itu mati karena palasik. Palasiknya siapa lagi, kalu bukan Mak Maun, kata masyarakat.

Ketika Mak Maun melahirkan bayi laki-laki, Maun sekarang, ia tidak begitu gembira. Sebenarnya ia berharap kelahiran anak perempuan biar keturunannya berkembang dan dapat berkuasa atas segenap tanah ulayat. Tanah ulayat itu sekarang, satu persatu sudah dipakai oleh mamak jauhnya, mamak sepesukuan. Terakhir tanah yang di bawah penguasaannya sudah dihibahkan untuk membangu mushalla.

Sayang sekali, saat ia tengah berusaha mendapatkan keturunan baru, seorang anak perempuan, suaminya meninggal dunia diseruduk babi hutan. Maun saat itu masih berumur 6 bulan. Sejak saat itu Mak Maun hidup menjanda. Bukan ia tak mau kawin lagi, tetapi tak seorangpun pria yang sudi menikah dengan dirinya. Takut anaknya menjadi palasik. Padahal, Mak Maun tidak kalah cantik bila di banding perempuan lain seusianya. Kalau tidak tercantik ke dua, mungkin ke tiga di kampungnya.

Mak Maun, mau tidak mau, terpaksa menerima kenyataan bahwa ia termasuk orang-orang punah.


Di sebuah dapur yang sangat sederhana duduklah seorang perempuan yang beranjak tua. Mak Maun. Di depan tungku Mak Maun terlihat sibuk mengacau rendang. Sesekali ia berbicara seolah-olah hanya untuk dirinya sendiri.

“Mmh… makan sendiri, tidur sendiri, segalanya sendiri” keluhnya sambil menghela nafas. Bikin kalio…, dimakan sendiri. Bikin rendang…, tak ada yang makan. Yoo… beginilah nasib padusi di Minangkabau.

Mak Maun terus mengaduk-aduk sesuatu yang berbau enak di dalam kuali. Dan mulutnyapun tetap komat-kamit meneruskan curhatnya kepada tungku api yang menyala-nyala…

“Punya anak laki-laki, ini mah… susah.. susaaah..!” Selusinpun anak laki-laki, kalau tak ada yang padusi, eeh, setelah besar, terbang semuanya ke rumah orang. Inilah contohnya.. kapan lagi bisa makan enak.

Mak Maun mendadak kesal dan berhenti mengaduk. Mungkin isi kuali itu kalio. Mungkin juga sudah jadi randang.

Tiba-tiba terdengar suara laki-laki berdehem. Berdehem, batuk-batuk kecil. Begitulah orang laki-laki Minang, sebelum mengucap salam, terlebih dahulu berdehem, supaya perempuan yang ada di rumah itu bersiap-siap, siapa tahu pada saat itu auratnya tersingkap.

“Assalamu’alaikum, Ondee, harumnya. Masak apa mak? Bikin rendang ya. Sepertinya aku akan makan enak nih. Mmmh, lapar perutku jadinya,mak…ada nasinya, mak?”

Sesosok wajah muncul dan langsung bertanya bertubi-tubi dan langsung mencari-cari tempat nasi.

“Oi, waang Maun. Masih ingat waang sama amak rupanya. Rupanya waang belum lupa dengan rendang amak sejak waang tergadai ke Mudiak? ucap Mak Maun tanpa sempat menjawab salam Maun.

Ya, ternyata lelaki itu adalah Maun anak lelakinya yang babini ke Kampung Mudiak. Blok M, bahasa kerennya.

“Kenapa sih mak, protes Maun sambil memijit sayang bahu emaknya. Mana mungkin seorang anak lupa sama ibunya.. Ada-ada saja si Amak ini. Cepat lah mak…saya sudah tak tahan lagi, lapar sekali aku Mak” pinta Maun manja.

Mak Maun berjalan ke sudut dapur. Disitu terletak rak-rak piring yang sudah lusuh, tetapi masih terawat sehingga meninggalkan kesan bersih. Nampaknya Mak Maun cukup memperhatikan masalah kebersihan dapurnya. Apalagi yang menyangkut peralatan makan. Piring yang di tangannya ia isi dengan nasi hangat. Buktinya nasi itu mengepulkan asap.

“Makanlah,Nak, rendang ini enak apalagi sedang hangat-hangat. Aa..ini gulai pangek yang amak bikin kemarin. Cobalah..!”

“Amak betul-betul mengerti dengan selera aku. Ayo, Mak. makanlah Amak sekalian, kita makan sama-sama”

Segera Maun mencuci tangan dengan bersih dan setelah mengucek nasi yang bercampur lauk, tangannyapun rajin turun naik dari piring ke mulut. Mak Maun memandang anaknya dengan penuh kasih sayang. Ia pun ikut makan bersama Maun.

“Ondeh, Enak sekali makan Amak, Nak. Sudah lama Amak tidak dapat menikmati makanan yang Amak masak”

“Iya mak, sampai berkeringat aku...

“Karena makan bersama kamu mungkin. E..ee, itu lah Amak kan sudah bilang dahulu, bila waang memang sayang sama Amak,, jika…

“Apa mak?” Maun langsung memotong.“Cepat-cepat beranak, itu kan mak?”

“Iya, kalau begini terus , rumah ini akan lengang selamanya. Kesepian kata anak-anak sekarang. Apa lagi istrimu yang cantik itu tidak mau pula tinggal di sini. Oi, sekarang di mana dia?” Kenapa tidak diajak kemari?, Apa dia jajok naik ke rumahku yang jelek ini?” Mak Maun mengejar dengan pertanyaan beruntun.

Maun menghela nafas. Perlahan nasi yang ada dimulutnya ia telan. Entah sudah lumat atau belum.

“Tidak Mak. Tadi dia mampir ke rumah bidan Mai, sebentar lagi mungkin tiba di sini”

“Rumah bidan Mai?, Apa yang dia lakukan di sana?. Apa ia sudah terlambat?” Mendadak Mak Maun melurus punggungya yang sebentar lagi bongkok. Tangannya berhenti menyuap.

“Tidak Mak! Masih belum Mak. Herni, menantu Amak itu 'kan baru tujuhbelas tahun umurnya” Maun menghela nafas panjang. Lantas ia bertanya, suaranya sangat pelan, nyaris seperti orang berbisik. “Mak, padi yang masih muda itu apa bisa dijadikan benih? Apa bagus tumbuhnya?”

“Bisa! sahut Mak Maun sigap. Kenapa tidak! Ampo barek saja bisa tumbuh, tapi hasilnya kurang bagus.”

“Ooh...Iya..ya. Kalau begitu, orang pasti seperti itu juga Mak! Si Herni, jika aku paksa, mungkin ia bisa hamil. Tapi, seperti apalah anaknya nanti,” Maun membela diri.

“Phuah..! sudah pintar kamu sekarang ya. Sejak kapan istri kamu itu kau samakan dengan tanaman?. Percuma saja waang sekolah tinggi. Diberi apa kamu oleh wanita mandul itu, ha?..” Mak Maun langsung tegak, tangannya bertumpu di pinggang. “Biarlah, sekarang saya cari dia ke rumah Bidan Mai. Kenapa ia di sana? Apa dia bersuntik KB?”

Maun ikut berdiri sembari memegang bahu ibunya, tentunya menenangkan orang tua itu.

“Amak…tenanglah amak dulu. Tak ada yang bisa kita selesaikan dengan muka kusut dan hati panas seperti ini! KB itu tidak selalu dengan suntik, Mak, haa…haa…ha…”

“Apa katamu? apa kamu tidak malu. Lihatlah si Lepai, baru kemarin menikah, kini sudah besar pula perut istrinya”

Mak Maun masih emosi. Maun kembali duduk. Nasi yang masih tersisa dipermainkan dengan ujung jarinya.

“Mak, anak itu amanah dari Allah. Makanya perlu dipersiapkan”
“Entahlah, sekarang ini, orang tidak menikah saja bisa bunting. Malang nasib ku, dapat menantu mandul” sungut Mak Maun.

"He…he… itu kecelakaan namanya Mak, hamil di luar nikah. Kambing yang tidak nikah juga bisa bunting, Mak"

Mak Maun membelakangi Maun dan merajuk seperti anak remaja.

“Mak, Herni tidak mandul. Ia cuma menunda kehamilannya saja. Usianya masih tujuhbelas tahun. Saya khawatir, kalau ia hamil sekarang, nanti mengganggu kesehatannya. Mak tidak lupa 'kan, dengan etek Siti?Ia meninggal dalam usia muda. Anak perempuannya meninggal bukan karena palasik, tetapi karena memang tidak sehat sejak dalam kandungan" terang Maun panjang lebar.

"Iya, Maun. Amak ingat. Tetapi meskipun kita ini orang punah, Amak tidak ingin mati dalam kesepian. Biarlah Amak terhibur dengan tangis dan keceriaan anak-anakmu nantinya. Kalau bisa lahirkan anak-anak perempuan. Usahakanlah, tak usah lah bini waang ber-KB"

"Begini saja Mak, habiskan saja makan Mak, dulu. Nanti kita lanjutkan ceritanya "

"Maun, Amak sudah tak tahan lagi sendiri di hari tua. Kau bisa enak-enak tidur bersama istrimu. Sementara Amak di sini?

"Biarlah, Mak, kita terima kenyataan ini apa adanya. Nanti kalau Allah mempercayai akau, kotrasepsi itu akan jebol sendiri. Herni pasti hamil Mak. Nanti anak-anaknya akan aku bawa ke sini, menemani Amak"

"Maun, Amak sudah putus harapan. Selusinpun anakmu, tetap akan tinggal di rumah istrimu.kalau kau tidak cepat-cepat punya anak biarlah Amak mati saja, biar punah sekalian"

"He..he… jangan begitu, Mak. Saya janji, akan segera punya anak. Tetapi dengan syarat"

“Baik, dengan syarat istrimu kau larang ber KB. Habiskan nasimu, mari kita ke rumah bidan Mai. Tanyakan ke bidan, kenapa sampai sekarang istrimu belum hamil juga..? Kalau kau tak mau bertanya, biar Amak yang bertanya…!”. Mak Maun bersemangat.

“Ondeh!”, Maun geleng-geleng kepala. (Padang Agustus 2006)


Catatan kata-kata /istilah Minangkabau :
1.Ondeeh, kata seru, aduh
2.Rapun , habis, punah, hancur lebur.
3.Palanta, tempat duduk santai di halaman rumah, warung. Biasanya terbuat dari bambu.
4.Babini, kawin
5.Tungga babeleang, anak tunggal, semata wayang
6.Palasik, mitos orang Minangkabau tentang orang yang suka menghisap darah anak kecil di bawah tiga tahun. Dalam kepercayaan orang Minangkabau, mereka suka menggunakan ilmu hitam
7.Bercirit, berkotoran, tahi mata
8.Sajamba, makan bersama satu talam atau piring besar
9.Kalio, gulai daging sebelum menjadi rendang. Rendang merupakan makanan penting dan persyaratan yang mesti ada dalam perjamuan adat Minangkabau.
10.Padusi, perempuan.
11.Ondee, kata seru, sama dengan aduhai.
12.Amak, ibu, mandeh.
13.Pangek, gulai pepes ikan.
14.Jajok, jijik
15.Waang, kamu (untuk anak laki-laki)
16.Ampo barek, sisa gabah yang selesai dianginkan. Biasanya berbentuk padi hampa, tak berisi. Jika terserak di sawah bisa tumbuh dan berbuah bulir padi yang kurang bagus.
17.Etek, bibi, adik perempuan ibu atau ayah.

Special Thank to :
Terima Kasih Buat Inyiak Anas Nafis atas informasinya tentang Palasik

ISLAM DAN NEGARA;PENERAPAN SYARIAT ISLAM DI PAKISTAN


Oleh: Muhammad Nasir

Ketua Divisi Organisasi Majelis Sinergi Islam dan Tradisi Indonesia
(Magistra Indonesia)-Padang/ Mahasiswa Sejarah dan Peradaban Islam
PPs IAIN Imam Bonjol Padang


Pendahuluan


Islam dari pengalaman sejarahnya tidak mengenal negara yang berdasarkan kebangsaan atau etnis. Sekalipun yang memerintah dari etnis tertentu seperti Arab atau Turki, tetapi umat tidak memandang pada kebangsaan tersebut. Sampai awal abad ke 20 umat Islam masih berkeyakinan bahwa mereka berada dibawah sebuah pemerintahan Khalifah yakni pemerintahan yang mendasarkan pada kesatuaan agama dengan tanpa memperhatikan batas teritorial. Persoalan lainnya yang tidak kalah pentingnya dari sekedar perdebatan tentang negara adalah bagaimana sebuah negara Islam dapat menerapkan ajaran Islam (Syari’ah) dalam institusi negara.

Penerapan syari’at Islam merupakan problem kontemporer pada beberapa negara yang berpenduduk muslim. Syari’at Islam diyakini sebagai satu panduan tentang tata cara yang benar dalam menyelenggarakan kehidupan muslim, termasuk dalam hal bernegara. Namun pada waktu tertentu, penerapan syari’at Islam justru menjadi perdebatan yang panjang khususnya ketika hal itu berkaitan dengan satu sistem pemerintahan modern yang disebut negara.

Jika syari’at Islam sudah menjadi kosa kata yang Islami dalam artian berasal dari khasanah peristilahan (musthalahat) Islam, maka negara bukanlah peristilahan yang berasal dari Islam. Sebagai rujukan standar, tidak satupun kata ini ditemukan dalam al-Qur’an maupun Sunnah Nabi Muhammad SAW. Apalagi jika menjadi satu frasa Negara Islam.

Meskipun demikian, perkembangan berikutnya, negara Islam setelah mengalami rekonstruksi sedemikian rupa telah menjadi perbendaharaan bahkan cita-cita tersendiri bagi umat Islam. Tidak heran, beberapa negeri berpenduduk muslim mulai berupaya mewujudkan suatu pemerintahan yang berdaulat dengan nama negara Islam. Misalnya, Republik Islam Pakistan yang akan dibahas dalam makalah ini.

Pembentukan negara Islam secara zahir membawa konsekwensi diterapkannya Syari’at Islam (baik formal ataupun informal) kedalam institusi negara dan kehidupan warga negara. Pertanyaan mendasarnya, apakah konsekwensi ini juga merupakan alasan untuk mendirikan negara Islam pada waktu itu, atau hanya sebatas menciptakan negara bagi penduduk Pakistan yang mayoritas beragama Islam?

Pakistan sebagai negara berpenduduk mayoritas muslim sejak didirikan pada tahun 1947 tidak luput dari perdebatan ini. Pakistan layak diangkat sebagai satu studi kasus mengingat akarnya yang kuat sebagai sebuah negeri yang dahulunya menjadi bagian imperium besar Islam di India yaitu Kerajaan Mughal.
Sepanjang perjalanannya, Pakistan telah mengalami berbagai peristiwa yang cukup menyedihkan untuk dicatat, apalagi jika dikaitkan dengan identitasnya sebagai negara yang dibangun dengan identitas Islam. Mengingat sejarah kebesarannya dan ketragisan inilah, makalah ini secara serba ringkas menulis berbagai peristiwa yang berkaitan dengan upaya penerapan syari’at Islam di negara tersebut. Istilah lain yang mungkin digunakan dalam penulisan makalah ini adalah Islamisasi yang dalam hemat penulis terdengar lebih lembut (soft) sekaligus lebih gampang diucapakan dibanding penerapan syariat Islam.

Profil Singkat Negara Pakistan

Nama negara: Pakistan
Bentuk Pemerintahan: Republik Islam Pakistan
Ibukota : Islamabad
Populasi: 165.803.560 jiwa (2007) / 97% muslim
Ekspor Utama: Tekstil, beras, kulit, produk, olahraga, dll
Impor Utama: Minyak bumi, permesinan,peralatan transportasi, dll.
Bahasa: Urdu (resmi), Sind, Punjabi,Inggris

Di timur, Pakistan berbatasan dengan India. Di barat, berbatasan dengan Iran dan Afghnistan: Di utara, dengan Afghanistan dan Cina. Di selatan, dengan laut Arab dan teluk Oman. Luas Pakistan adalah 703.943 Km; yang terbagi atas empat propinsi: Baluchistan, Sindh, Punjab dan wilayah Barat Daya. Pakistan bertetangga dengan dua negara besar di dunia: India dan Cina. Pakistan menjalin hubungan baik dengan Barat di satu pihak, sedangkan disisi lain dengan Cina Komunis.

Berdirinya Republik Islam Pakistan tidak lepas dari peran seorang pengacara muslim Muhammad Ali Jinnah. Pada awalnya, berdirirnya Pakistan merupakan problem tersendiri, terutama dalam mencari alasan atau raison d’etre Pakistan merdeka. Apakah the founding fathers Pakistan bermaksud mendirikan Negara Islam atau tengah berupaya membangun Tanah Air bagi orang Islam? Lebih dari itu, apakah kekhawatiran sebagai warga minoritas di India yang mayoritas Hindu dapat dijadikan alasan berdirinya Pakistan merdeka.

Elan dasar pendirian "Republik Islam" ini, seperti terartikulasikan dalam gagasan pendiri-pendirinya adalah kehendak komunitas muslim --sebagai bangsa terpisah di anak benua India-- untuk membentuk negara di mana mereka mampu menerapkan ajaran Islam dan hidup selaras dengan petunjuknya.

Berbagai teori telah dimunculkan tentang alasan-alasan pokok berdirinya Pakistan sebagai sebuah negara dengan identitas Islam. Pada 23 Maret 1947 Liga Muslim India (All Indian Moslem League) mengeluarkan resolusi yang terkenal dengan nama Resolusi Pakistan. Dalam resolusi tersebut, kaum Muslim India dipimpin Muhammad Ali Jinnah, yang juga Bapak Negeri Pakistan, berjanji memperjuangkan terbentuknya negara muslim.

Pendirian Liga Muslim mengawali munculnya gerakan nasionalisme India, pada awalnya merupakan respon terhadap gerakan nasionalisme Hindu yang disuarakan Partai Kongres Nasional India. Liga Muslim didirikan oleh sekelompok intelektual Muslim India yang pada perkembangannya menuntut terbetuknya pemerintahan sendiri. Tokoh yang terkenal dari organisasi ini adalah Muhammad Ali Jinnah.

Di bawah kepemimpinan Jinnah, ide negara Pakistan semakin berkembang dan pada tahun 1940 menjadikan pembentukan Pakistan sebagai tujuan perjuangan. Tujuan itu menjadi kenyataan saat Pakistan diproklamirkan sebagai negara merdeka pada 14 Agustus 1947, dan kenyataannya, Pakistan merdeka sehari lebih cepat dari India yang dimerdekakan 15 Agustus 1947

Berdirinya Pakistan didasarkan atas realitas bahwa masyarakat muslim yang meliputi wilayah Sind, Punjab, Baluchistan, provinsi di Barat Laut dan Benggala merupakan sebuah bangsa yang berhak atas wilayah mereka sendiri. Meskipun banyak yang meragukan klaimnya sebagai sebuah bangsa, namun sesuatu yang pantas diberi nilai adalah kenyataan geografis Pakistan yang merupakan anak benua India yang nyaris lepas dari peradaban induknya, yaitu India.

Pakistan dibentuk oleh elit-elit muslim yang memobilisasi sumberdaya Muslim India Barat Laut untuk menentang kebijakan Inggris yang berseberangan dengan kepentingan kelompok muslim. Kemungkinan lainnya adalah teori Francis Robinson yang menyatakan terbentuknya Pakistan dari faktor ideologi terutama doktrin Ummah yang mendorong elit-elit muslim mengupayakan perlindungan budaya muslim dan otonomi yang lebih besar bagi kaum muslim di Provinsi Kesatuan Barat Laut dan Bengal.

Senada dengan Robinson, David Taylor mengesankan terbentuknya Pakistan sebagai ekspresi politik muslim kelas atas (elit) yang memahami kenyataan berbedanya identitas keagamaan dan sosial politik mereka dengan kekuatan-kekuatan lainnya di anak benua India.

Tuntutan kaum elit ini menurutnya selain mewakili permasalahan kaum elit Pakistan, juga didukung oleh kesadaran komunal akan pentingnya negara bagi komunitas Muslim. Selain itu ia juga menemukan fakta dalam kasus-kasus tertentu yang melibatkan massa yang menuntut pemenuhan kebutuhan asasinya sebagai orang Islam juga tidak bisa disepelekan. Artinya, dalam waktu-waktu tertentu, tuntutan elit bisa senada dengan tuntutan arus bawah muslim.

Sementara itu dengan pertanyaan yang hampir sama dengan Robinson, Karen Amstrong menilai pendirian Pakistan justru diilhami cita-cita sekuler modern. Sejak masa Aurengzeb, Muslim di India merasa sedih dan tidak aman, mereka mengkhawatirkan identitas mereka dan berkem¬bangnya kekuasaan mayoritas Hindu.

Hal ini semakin parah setelah pemisahan India dari Inggris pada tahun 194¬7 ketika kekerasan komunal memuncak di kedua belah pihak dan ribuan orang tewas. Jinnah ingin membangun arena politik yang tidak menekan atau membatasi identitas religius Muslim. Akhirnya ia mempertanyakan: “apa maknanya negara Islam yang menggunakan sebagian besar simbol-simbol Islam untuk tujuan "sekuler"?

Esposito juga berkesimpulan: “aspirasi Islam memang merupakan raison d'etre-berdirinya Pakistan, tetapi meskipun terdapat persetujuan umum mengenai pentingnya suatu tanah air Islam, namun apa yang dimaksud tidak begitu jelas. Perbedaan pandangan dan pendekatan antara kaum modernis dan tradisionalis merupakan halangan yang cukup besar, dan belum pernah diusahakan secara sistematis untuk menjelaskan ideologi Islam Pakistan dan bagaimana melaksanakan ideologi itu secara konsisten.

Dari beberapa teori ini, paling tidak yang paling memungkinkan adalah bahwa gagasan nasionalisme yang datang dari barat telah membantu mempercepat kelahiran Pakistan sebagai negara bangsa. Dalam hal ini, Badri Yatim menyebutkan, gagasan nasionalisme merupakan modal utama umat Islam dalam perjuangannya untuk mewujudkan negara merdeka, yang bebas dari pengaruh politik Barat.

Praktek Islamisasi Pakistan

Periode 1947-1970

Sebagaimana disinggung di atas, Islam merupakan raison d'etre dari dibaginya India dan di¬dirikannya Pakistan sebagai suatu negara-bangsa yang berdiri sendiri tahun 1947. Walaupun Is¬lam telah digunakan untuk memobilisasikan dan mempersatu¬kan orang Islam di waktu gerakan kemerdekaan, namun sedikit sekali terdapat konsensus mengenai masalah-masalah fundamen¬tal seperti: "Apakah artinya kalau dikatakan bahwa Pakistan ada¬lah sebuah negara Islam modern? Bagaimana menggambarkan watak keislamannya dalam ideologi dan lembaga-lembaga nega¬ra?"

Dengan memperhatikan periode tahun 1947-1970 ternyata bahwa hasilnya amat tidak memuaskan. Tidak adanya kestabilan politik dan perbedaan yang tajam antara golongan tradisionalis dan mo¬dernis sedikit sekali memberikan sumbangan kepada perkem¬bangan suatu ideologi Islam yang mapan yang dapat berguna se¬bagai dasar dari persatuan nasional di tengah-tengah perbedaan-¬perbedaan bahasa dan regional yang amat luas terdapat di Pakis¬tan.

Kesimpulan yang diambil kebanyakan pengamat Pakistan adalah, dari periode 1947 hingga 1970 tersebut, Pakistan lebih banyak berdebat tentang bagaimana ideology Islam itu dapat diterapkan dalam negara. Perdebatan itu meliputi tokoh modernis, nasionalis sekuler dan kelompok Islamis tradisionalis yang menginginkan syari’at Islam diterapkan secara ketat.

Misalnya, Abul A'la Maududi (1903-1979) mewakili kaum tradisionalis, mendesak dite¬rapkannya norma-norma Syariah yang lebih ketat, sehingga pada tahun 1956, sebuah konstitusi secara resmi menjadikan Pakistan sebagai Republik Islam. Ini mewakili sebuah aspirasi yang kini hidup kembali dalam institusi-institusi politik negara tersebut. Sementara Fazlur Rahman mewakili kaum modernis memberikan gambaran tentang negara Islam yang lebih modern berdasarkan kedaulatan rakyat.

Pemerintahan Jenderal Muham¬nad Ayub Khan (1958-1969) adalah contoh khusus sekularisme berlebihan sekaligus dictator militer. Dia menasionalisasi sumbangan-sumbangan religius (auqah), nembatasi pendidikan madrasah, dan mengembangkan sistem hukum sekuler. Tujuannya adalah menjadikan Is¬am sebagai agama sipil, yang bisa dikendalikan negara, tetapi keinginan ini menyebabkan ketegangan dengan para ahli agama Islam dan menyebabkan jatuhnya pemerin¬tahan Khan.

Selama tahun 1970-an, kekuatan para ahli agama Islam menjadi kekuatan oposisi utama melawan pemerintahan, dan sebagai seorang beraliran kiri dan sekularis Perdana Menteri Zulfikar Ali Bhutto (1971-1977) meredakan gerakan mereka dengan melarang judi dan alkohol, Tetapi pada periode ini akhirnya Pakistan tetap digerakkan dengan semangat sekuler.

Hal ini melegitimasi kenyataan, meskipun Pakistan menyatakan dirinya sebagai negara Islam, tidak satupun program yang pernah disusun untuk menerapkan Islam. Dalam rentang waktu 30 tahun itu, tidak heran muncul tudingan bahwa Islamisasi tidak lebih hanya sebagai contoh penggunaan Islam sebagai alat oleh rezim yang berkuasa untuk menegakkan keabsahan politiknya.

Periode 1971-sekarang

Islamisasi mula-mula muncul sebagai kebijakan negara yang lahir di bawah pemerintahan Partai Rakyat Pakistan yang dipimpin oleh Zulfikar Ali Bhutto (1971-1977). Ali Bhutto datang membawa tawaran baru, yaitu mengawinkan Islam dengan Sosialisme. Upaya ini mendapat sambutan hangat dari rakyat Pakistan.

Bhutto mempergunakan ungkapan-ungkapan keagamaan yang mampu membangkitkan emosi, seperti misalnya Musawat-i¬ Muhammadi (persamaan Muhammad) dan Islami Musawat (persamaan Islam) sebagai bagian dari ke¬pandaian mengucapkan pidato politik untuk membe¬narkan kebijakan pemerintahannya yang bersifat sosialis dan untuk memperoleh dukungan massa bagi kebijakannya.

Pada tahun 1974 pemerintahannya juga bertanggung jawab atas terjadinya kampanye panjang pada dasawarsa itu sehingga pengikut sekte Ahmadiyyah menganggap pendiri sekte itu, Mirza Ghulam Ahmad, sebagai nabi, dan dengan demikian mereka menolak pilar Islam bahwa Muhammad ada¬lah utusan Tuhan yang terakhir.

Setelah parlemen mengeluarkan peraturan hukum yang menyatakan bahwa Ahmadiyyah adalah minoritas non-muslim dan ketetapan dalam Undang Undang tahun 1973 yang mengharuskan jabatan presiden dan perdana menteri dipegang oleh orang-orang Islam, sumpah jabatan di¬ubah agar penegasan bahwa Muhammad adalah nabi yang terakhir bisa dimasukkan ke dalamnya.

Ketika agitasi anti pemerintah (dipimpin oleh Persekutuan Nasional Pakistan yang pemimpin-pe¬mimpinnya menggunakan Islam untuk menggerak kan orang-orang melawan pemerintahan Bhutto) pecah di pusat-pusat pertokoan utama, pemerintah berusaha untuk mengakhiri keadaan ini dengan mengumumkan reformasi , “Islam” dengan menentu¬kan Jum’at dan bukannya Minggu sebagai hari libur umum mingguan dan mengumumkan langkah-lang¬kah yang melarang pemakaian alkohol, perjudian dan pacuan kuda. Manifesto pemilihan Partai Rakyat Pakistan tahun 1977 juga memasukkan persetujuan partai untuk:

1.Menjadikan pengajaran al Quran sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pendidikan umum.
2.Mengembalikan masjid ke tempat tradisionalnya selaku pusat terpenting masyarakat.
3.Mendirikan Akademi Ulama Negeri untuk mendi¬dik Imam dan Khatib di masjid-masjid.
4.Menjadikan tempat keramat orang suci yang ter¬hormat sebagai pusat pengajaran Islam.
5.Meningkatkan fasilitas untuk orang-orang yang akan menunaikan ibadah haji.
6.Memperkokoh Institut Penelitian Islam di Islam¬abad.

Akan tetapi program Islamisasi ini menurut Riaz Hassan tidak lebih hanya sekadar respon untuk menenangkan kelompok urban yang menentang kebijakan ekonominya. Program ini secara kasat mata tidak lebih pada pengakuan dan perbaikan aspek simbolis Islam sebagaimana awal pendiriannya.

Ali Bhutto akhirnya dijatuhkan melalui kudeta Angkatan Bersenjata di bawah pimpinan Jenderal Zia ul-Haq Juli 1977 dengan alasan tingkah lakunya yang tidak Islami dan keakrabannya dengan isu demokrasi kebarat-baratan, kemudian ia digantung dengan tuduhan terlibat konspirasi untuk membunuh ayah politisi Ahmed Reza Kasuri.

Ali Bhutto kemudian digantikan oleh Ziaul-Haq, yang mengembalikan aturan pakaian tradisional Muslim dan memberlakukan kembali hukuman yang Islami dan hukum komersial. Tetapi Presi¬den Zia sendiri juga menjauhkan Islam dari masalah¬-masalah politik dan ekonomi yang didukung oleh kebijakan¬-kebijakan sekularis.

Secara populer, upaya Islamisasi Pakistan itu ia sebut dengan Nizam-i- Islami. Usaha yang dikampanyekan oleh Zia ul-Haq dalam rangka Islamisasi antara lain:

1.Menegaskan kembali tujuan negara (objektif resolution) Pakistan, yaitu Islam. Konsekwensinya sistem (ajaran) Islam harus diterapkan di negara Pakistan;
2.Pembentukan mahkamah-mahkamah Syar’iyyah, yang bertujuan meletakkan supremasi syari’ah di atas hukum positif. Pada kasus tertentu ia juga melakukan penyesuaian hukum-hukum positif dengan hukum Islam;
3.Membangun prinsip negara kesejahteraan (welfare state) dengan membentuk pemungutan zakat dan ‘usyr (pajak yang dipungut dari hasil pertanian);
4.Serta menyatakan perang terhadap sistem perekonomian yang berbasis riba.

Bagaimanapun, kampanye dan program Nizam-i-Islami itu tidak lebih sebagai pendekatan politik penerapan hukum Islam yang pada akhirnya disikapi secara politis oleh kelompok oposisi. Sementara itu disisi yang lain, respon rakyat terhadap program itu biasa-biasa saja. Akhirnya program itu tidak lebih hanya perdebatan kalangan elit Pakistan.

Dalam hal politik luar negeri, Zia ul-Haq memberi dukungan penuh kepada Mujahidin Afghanistan yang berjuang melawan invasi militer Uni Soviet (1979-1989). Namun, pada 1988, Zia ul-Haq tewas saat helikopter yang ditumpanginya bersama Duta Besar Amerika Serikat di Pakistan meledak. Sejak wafatnya dalam kecelakaan pesawat pada tahun 1988, politik Pakistan didominasi ketegangan etnik, permusuhan, dan skandal-skandal korupsi di antara anggota kelas-kelas elit dan para ahli agama Islam tidak lagi berpengaruh. Islam masih menjadi identitas Pakistan dan ada pada semua kehidupan masyarakat, tetapi tetap tidak berpengaruh pada kehidupan.

Pasca Ziaul Haq, sepertinya program Islamisasi tidak begitu populer lagi di Pakistan. Pakistan tidak lebih seperti negara-negara berkembang lainya yang penuh dengan intrik politik, perdebatan panjang antara Islam dan demokrasi dan yang tak kalah beratnya, internasionalisasi Pakistan, terutama soal nuklir dan terorisme. Tidak heran Pakistan belakangan menjadi barometer keamanan bagi negara muslim di kawasan lainnya, termasuk Asia Tenggara.

Sekilas pemerintahan setelah Zia ul Haq, muncul Benazir Bhutto, putri mendiang Zulfikar Ali Butho, yang menjadi perdana menteri wanita pertama di Republik Islam Pakistan. Terpilihnya Benazir Bhuto merupakan kejutan bagi umat Islam dan juga bagi banyak negara non muslim.

Pemimpin perempuan merupakan suatu yang masih diperdebatkan terutama di Pakistan yang pada Era Zia ul-Haq diharamkan. Benazir Bhuto telah menjadi zaman peralihan dari era perdebatan mengenai identitas Islam kepada wacana hubungan Islam dan demokrasi (termasuk masalah gender), sekaligus menjadi tanda bagi kemenangan demokrasi atas rezim militer.

Platform demokrasi yang ingin ditegakkan oleh Dinasti Bhutto adalah mengkritisi dominasi militer. Akibatnya Benazir selalu berseberangan dengan para jenderal militer. Salah satu janji Benazir jika dia memenangi pemilu dan menjadi PM kembali adalah mengefisiensikan dana militer. Sebuah pilihan demokratis namun tidak populer bagi kalangan militer.

Pada 1990 Benazir digulingkan oleh Presiden Ghulam Ishaq Khan dan lagi-lagi didukung oleh militer karena dituduh korupsi namun ia tidak pernah diadili. Tahun 1993 ia terpilih kembali sebagai Perdana Menteri hingga 1996. Pada tahun 1996, Presiden Farooq Leghari menaggalkan jabatan Benazir atas tuduhan skandal korupsi.

Benazir digantikan Nawaz Sharif, seorang pengikut setia Zia ul-Haq. Sharif menjadi PM setelah Partai Liga Muslimin Pakistan yang dipimpinnya menang pemilu dan mempunyai kursi mayoritas di parlemen. Dalam perjalanan pemerintahannya, Sharif bersitegang dengan militer yang kemudian dikudeta oleh Musharraf yang saat itu duduk dalam struktur Dewan Keamanan Nasional.

Beberapa pemimpin senior militer lalu mendukung Musharraf dalam kudeta damai terhadap Sharif. Kepemimpinan Musharraf pun tetap bertahan setelah didukung dengan partai-partai di Pakistan. Yang menarik justru pada tahun 2006, Nawaz Sharif memutuskan berkoalisi dengan Benazir Bhutto, rival lamanya, dalam Aliansi untuk Pemulihan Demokrasi, demi menggulingkan Musharraf.

Kepemimpinan Musharraf tidak luput dari konflik. Bentrokan berdarah di sejumlah wilayah Pakistan awal Maret 2007 merupakan klimaks dari krisis politik yang menimpa Presiden Pervez Musharraf. Dia memecat Ketua Mahkamah Agung Iftikhar Muhammad Chaudhry karena dituduh menyalahgunakan kekuasaan.

Pihak oposisi menuduh pemecatan itu dilatarbelakangi kekhawatiran Musharraf kalau Chaudhry akan menghalangi niatnya menjadi presiden untuk ketiga kali. Chaudhry juga dikhawatirkan mengubah konstitusi untuk melucuti posisi rangkap Musharraf sebagai panglima angkatan bersenjata. Pemecatan Chaudhry memicu protes luas dari para pengacara dan partai-partai oposisi di seluruh negeri, walau aksi mendukung Musharraf pun dilakukan partai propemerintah Mutahida Qami Movement (MQM). Bentrokan pun tidak terhindarkan.

Kelompok oposisi, baik dari kubu mantan PM Benazir Bhutto yakni Partai Rakyat Pakistan dan kelompok pendukung mantan PM Nawaz Sharif banyak yang menjadi korban akibat bentrokan itu.

Terakhir sebagai kesudahan karir politik Benazir Bhutto, 27 Desember 2007 ia terbunuh oleh serangan tembakan dan bom bunuh diri di Rawalpindi sesaat setelah ia berkampanye untuk posisi PM yang ke tiga kalinya.

Era Perves Musharraf (1999) adalah bukti terkini tentang betapa rumitnya mengurus sebuah negara modern yang diberi nama Republik Islam Pakistan itu. Dalam konstitusinya tercantum dasar filosofi mewah tentang kedaulatan Allah atas alam semesta dan syariah sebagai sumber hukum tertinggi. Dalam realitas, baik gagasan kedaulatan Allah maupun syariah ternyata tidak mampu menolong nasib Pakistan berhadapan dengan konflik suku yang beragam dan sengketa politik yang sering berkuah darah itu.

Penutup

Pakistan merupakan salah satu contoh yang bagus untuk kasus kontroversi penegakan Syari’at Islam yang juga marak di bebera negara berpenduduk muslim lainnya, termasuk Indonesia. Apakah formalisasi Syari’at Islam melalui jalur politik (negara) adalah kehendak komunitas muslim atau bagian wacana yang dilontarkan elit politik, patut juga dipertimbangkan.

Tuntutan pemberlakuan syariat Islam yang dikemukakan sejumlah daerah di Indonesia beberapa waktu lalu telah menarik perhatian kalangan yang berkepentingan dengannya. Ketidakjelasan konsep syariat di balik usulan itu telah menyeret masyarakat ke dalam ajang kontroversi yang akut.

Gagasan tentang Islam yang hendak diimplementasikan di dalam negara Pakistan juga terukir jelas dalam benak para pendirinya --yakni Islam yang "lebih dekat kepada semangat aslinya dan semangat zaman modern." Tetapi, pemimpin-pemimpin komunitas muslim tradisional mempersepsinya sebagai Islam yang berorientasi ke belakang dalam rumusan-rumusan "Islam sejarah."

Akibatnya, sejak berdirinya Republik Islam Pakistan pada 3 Juni 1947, negara ini mengalami kesulitan serius dalam mendefinisikan keislamannya. Perdebatan-perdebatan yang berkepanjangan dalam Majelis Konstituante --demikian pula hasil kompromi antara kubu tradisionalis dan modernis yang terjelma dalam Konstitusi Pertama (1956), Konstitusi Kedua (1962) ataupun amandemen-amandemennya yang tidak memuaskan seluruh pihak-- dengan jelas merefleksikan hal ini.

Ketika sampai kepada hukum Islam, kesulitan yang sama juga dihadapi kaum muslim Pakistan. Dalam benak kaum modernis, hukum Islam --agar bisa diterapkan-- mesti dimodernisasi selaras dengan perkembangan dan kebutuhan zaman. Sementara kaum tradisionalis menuntut bahwa fiqh, yang dihasilkan para mujtahid lewat deduksi dan derivasi dari Alquran dan Sunnah Nabi, harus diberlakukan tanpa kecuali.

Kontroversi sengit tentang riba dan bunga bank, pendayagunaan zakat, program keluarga berencana, hukum kekeluargaan Islam, dan lainnya, merupakan cerminan betapa sulitnya kaum muslim Pakistan mendefinisikan syariat Islam untuk konteks negeri mereka.

Akibatnya adalah kekacauan dan kerancuan dalam definisi "Islam" yang menyertai pengalaman kenegaraan Pakistan. Kompromi-kompromi yang dicapai tentu saja tidak selaras dengan modernisasi yang dikehendaki kubu modernis ataupun status quo yang hendak dipertahankan kelompok tradisionalis. Ajang kontroversi pun akhirnya melebar kepada aksi-aksi penjarahan, pembakaran, terorisme dan pembunuhan --bahkan sampai pada penetapan kaum Ahmadiyah Qadian sebagai minoritas non-muslim!

Pengalaman ideologis Pakistan telah memberikan gambaran suram tentang Islam, seakan-akan agama itu mengajarkan kepada pemeluknya "membakar, menjarah, membantai" pihak-pihak yang berseberangan, bukan "demokrasi, kemerdekaan, persamaan, toleransi dan keadilan sosial"

Dapat diduga bahwa pengalaman traumatis yang sama akan dialami masyarakat muslim Indonesia jika tuntutan penerapan syariat Islam mendapat angin segar. Kemajemukan Islam di negeri ini, yang tidak jarang bersifat antagonistis, merupakan indikatornya. Karena itu, banyak yang harus dipelajari secara bijak dari pengalaman Pakistan.

Meskipun demikian, Menjadikan Pakistan sebagai bukti bahwa Islam tidaklah bisa masuk dalam instrumen politik kenegaraan, tidaklah tepat. Itu tidak lebih sebuah kegagalan dalam memasukkan Islam ke dalam instrumen politik, kegagalan dalam berdemokrasi dan kegagalan dalam mengatasi konflik.[*]

Padang, Januari-Februari-Mei 2008)

DAFTAR BACAAN


Al Abdah, Muhammad, Mengapa Zia ul-Haq Dibunuh? (terj), Yogyakarta: Pustaka al Kautsar, 1990
Ahmed, Akbar S., Rekonstruksi Sejarah Islam di Tengah Pluralitas Agama dan Peradaban, (terj), Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2003
Armstrong, Karen, Islam: A Short History (terj), Surabaya: Ikon Teralitera, 2004
Donohue, John J. dan John L Esposito (ed), Islam dan Pembaharuan, Ensiklopedi Masalah-masalah, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1995
Esposito, John L (ed), Identitas Islam pada Perubahan Sosial Politik, (terj), Jakarta: Bulan Bintang, 1986
Hassan, Riaz, Islam: Dari Konservatisme sampai Fundamentalisme, Jakarta: CV Rajawali, 1985
Hunter, Shireen T. (ed.), Politik Kebangkitan Islam: Keragaman dan Kesatuan, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001
Kompas, Jum’at, 28 Desember 2007
Nasution, Harun dan Azyumardi Azra (ed), Perkembangan Modern dalam Islam,Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985
Panji Masyarakat No. 598, 1-10 Januari 1989
Smith, Anthony D., Nasionalisme, Teori, Ideologi dan Sejarah, (terj), Jakarta: Erlangga, 2003
Ajid Thohir dan Ading Kusdiana, Islam di Asia Selatan…, Bandung: Humaniora, 2006
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006
The World Factbook 2007 dan sumber lainnya
http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=97

26 May 2008

Soal Agama dan Budaya; Bertegas-tegaslah!


Oleh: Muhammad Nasir
Mahasiswa Pascasarjana IAIN IB Padang


Tarbiyah Islamiyah atau sebelumnya lebih dekat di lidah masyarakat dengan sebutan PERTI, merupakan anak kandung politik pemikiran Islam Sumatera Barat. Kelahirannya tidak lepas dari perkawinan (sintesis) pemikiran tradisionalisme Islam dengan pemikiran kaum pembaharu. Jika ada yang mengatakan Tarbiyah Islamiyah sebagai representasi Kaum Tua, maka anggapan itu terlalu lemah dan tendensius. Apalagi sampai mengatakan Tarbiyah Islamiyah sebagai sarang Takhyul, Bid’ah dan Churafat (TBC) yang nyata-nyata sesat dan tidak Islami.

Padahal, “Persatuan Tarbiyah Islamiyah tidak pernah mengajarkan warganya untuk mebakar kumayan ketika akan memulai do’a bersama!” tegas Buya H. Ahmad Khatib Maulana Ali (1915-1993) kepada penulis tujuh belas tahun yang lalu. Jawaban berikutnya, “bialah, ndak usah dipikia bana masalah kumayan tu. Bisuak kalau urang indak manjua kumayan lai, urang Tarbiyah pasti indak mambaka kumayan lai.” Biarkan saja, tidak perlu dipersoalkan. Ada saatnya kumayan tidak dijual lagi, budaya itupun pasti hilang. Jawaban ini sungguh merupakan kearifan dan pembacaan yang cermat terhadap kebudayaan.

Persatuan Tarbiyah Islamiyah didirikan oleh para ulama Minangkabau yang menyebut dirinya Ahl al sunnah wal Jama’ah pada 5 Mei 1928 bertepatan dengan 15 Zulkaidah 1346 H. Tercatat beberapa nama yang ikut mendirikan ormas Islam ini, di antaranya; Syekh Sulaiman al Rasuli (Inyiak Canduang), Syekh Abbas Qadhi Ladang Laweh, Syekh Mohd. Djamil Djaho (Inyiak Djao) Syekh Abd Wahid al Shalihi, Syekh Arifin Arsyad Batu Hampar, Syekh Ahmad Baruh Gunung, Syekh Abd Madjid Koto Nan Gadang, Syekh Djamaluddin Sicincin, Syekh Mohd. Alwi Koto Nan Ampek dan HMS Sulaiman Bulittinggi.

Syekh Ahmad Khatib Maulana Ali di Salo mencatat, kelahiran Persatuan Tarbiyah Islamiyah ini merupakan pertama, reaksi terhadap gerakan pengikut Wahabi di Minangkabau yang terlalu keras berdakwah, hingga tanpa tenggang rasa menghantam kian kemari. Kedua, untuk mempertahankan sesuatu yang dianggap benar. Lebih jauh Inyiak Imam Salo menjelaskan, apabila satu kebenaran berhadapan dengan kebenaran lainnya yang mungkin bernilai sama, maka wajibkah mengikuti sesuatu yang menurut adatnya terlihat baharu? Kalaupun harus terjadi, yang baru diterima sebagai kecendrungan zaman (trend) tanpa harus membatalkan yang lama yang bernilai sama. Ketiga, Tarbiyah Islamiyah merupakan bentuk penerimaan terhadap pola pendidikan modern. Keempat, Tarbiyah Islamiyah sebagai bentuk penolakan yang halus terhadap model ijtihad kaum muda. Kelima, untuk mempertahankan prinsip-prinsip bertaqlid kepada Imam-imam Madzhab yang dianggap berkompeten. Keenam, yang lain dari pada itu hanyalah persoalan politik dan kemasyarakatan saja. (Inyiak Imam Salo, Catatan Pribadi, 1976)

Memahami Tarbiyah Islamiyah sebagai sebuah lembaga pendidikan, dakwah dan sosial dalam semangat agama Islam haruslah berangkat dari dua hal, pertama: dari sesuatu yang ada di organisasi itu, kedua; haruslah melihat lembaga ini sebagai bagian dari proses yang lebih besar. Hal ini dilakukan agar setiap kajian selalu berdiri dalam posisi yang adil dalam melihatnya.

Bagian pertama, penting melihat ke dalam Tarbiyah Islamiyah itu sendiri. Apakah betul Tarbiyah Islamiyah sedimentasi Minagkabau Jahily dan yang imannya keropos karena “TBC”? Tidak dapat dipungkiri, bahwa sebagian besar masyarakat Minangkabau sebagai ranah spacial Tarbiyah Islamiyah masih mencapuradukkan antara tradisi lokal dengan pengamalan agama. Sebagian masyarakat justru meniatkan semua itu untuk tunduk dan patuh terhadap ajaran agama. Sayangnya, praktik yang demikian dapat menjadi bid’ah bila tidak ditemukan akar nash dan praktik beragama di zaman nabi. Akan tetapi tidak serta merta boleh dikatakan, praktik yang demikian itu menjadi trade mark Tarbiyah Islamiyah. Lalu dengan semena-mena mengatakan, kemenyan (kumayan), tahlil, zikir jama’ah, talqin, qunut dan sebaginya adalah Tarbiyah Islamiyah. Namun jangan lupa, sebagian yang disebut di atas juga menjadi amalan bagi mereka yang secara tegas mengaku aliran pembaharu bahkan pemurnian Islam. Dalam hal ini penting membedakan mana yang tradisi lokal dan mana yang tradisi agama (sesuai sunnah dan Islami).

Bagian kedua, Tarbiyah Islamiyah lahir dari sebuah proses yang lebih besar, yaitu jiwa zaman (zeitgeist) yang menuntut perubahan radikal untuk mendorong kepada kemajuan. Tetapi, apakah karena praktik berqunut, berzikir jama’ah, talqin mayyit dan sebagainya itu, umat Islam langsung terhambat kemajuannya? Jawabannya akan mudah didapatkan dengan menggunakan metode falsifikasi Karl Popper, si bule postmodernist. Ternyata ada juga orang yang berqunut jadi profesor dan kaya raya, tapi tidak korupsi.

Sejak 1928 hingga sekarang, Tarbiyah Islamiyah sudah memproklamirkan diri sebagai organisasi yang bermuatan pendidikan, dakwah, dan sosial. Pendidikan yang dimaksudkan organisasi disini berarti sebagai sebuah lembaga dimana sebuah doktrin keagamaan diajarkan. Dakwah yang dicantumkan berarti dengan strategi apa doktrin itu disampaikan. Sosial berarti kepada siapa doktrin itu diajarkan. Maka esensi sebenarnya adalah pendidikan Islam (al tarbiyyah al Islamiyyah) itu sendiri sebagai upaya memerdekakan manusia dari belenggu kebodohan dan kelemahan manusia.

Pendidikan yang dimaksudakan adalah sekolah-sekolah/ Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI). Secara specific, ajaran utama yang dikembangkan di sekolah-sekolah itu bercorak kalam Sunny (ya’taqidu bi I’tiqady ahl al Sunnah wal Jama’ah) dan beraliran fikih Syafi’i. Begitu juga dengan dakwah yang berarti dengan cara apa I’tiqad dan madzhab itu disampaikan. Sementara esensi sosial adalah mukhatab/ audience, di mana ajaran itu harus diamalkan.

Paling tidak ada tiga hal yang perlu diamalkan oleh warga Sumatera Barat yang berafiliasi kepada berbagai ormas Islam, khususnya dalam hal toleransi antar umat seagama. Pertama, serius membaca sejarah setiap organisasi Islam, agar dapat saling memahami. Kedua, serius mengamalkan doktrin organisasi masing-masing. Ketiga, serius menghormati saudara-saudara kita yang tidak seamalan-seorganisasi. Hal ini penting sebagai jaminan kesehatan hubungan sosial di negeri ini.

Haqqul yaqin, kesejahteraan, kemajuan dan kejayaan umat tidak terkait langsung dengan organisasi kemasyarakatan Islam. Faktanya, warga Muhammadiyah ada yang kaya dan berpikir maju, namun ada juga yang miskin dan berpikir kolot. Warga Tarbiyah Islamiyah begitu juga. Persoalan kemajuan sangat erat kaitannya dengan kerja keras dan kemauan yang kuat untuk belajar dalam mengatasi tantangan.

Arnold Toynbee dalam teori Challenge and response-nya yang terkenal menyatakan peradaban manapun di dunia ini akan bertahan apabila ia dapat mengatasi tantangan dengan memberikan jawaban (response) yang lebih dari cukup agar tantangan itu tidak membuat peradabannya jatuh ripuk. Pemikiran Toynbee yang Kristen namun dalam beberapa segi seperti menganut konsep alkasb dalam teologi sunny itu mengemukakan, yang dapat menyelamatkan peradaban dari kehancuran adalah kelompok kecil yang kreatif (creative minority). Mereka bisa saja orang-orang tarbiyah Islamiyah, Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama, atau mungkin saja yang lain dari pada itu. Nah! Selamat ulang tahun ke-79 Tarbiyah Islamiyah. (Padang, 27/04/2007 0:02
)

Reformasi Pertaruhan Sejarah Generasi

Oleh : Muhammad Nasir

Sepuluh tahun reformasi adalah tema yang cerdas dan enak didengar (smart and easy listening). Sayangnya fenomena terakhir jelang 21 Mei 2008 (jika 21 Mei 1998 dinggap sebagai tonggak tuo), diramaikan oleh nada-nada yang berisi pesismisme. Utamanya sejak bergulirnya wacana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) akibat mahalnya harga minyak dunia. Kesannya, pesismisme itu diukur dari gejala terakhir yang menyengsarakan; mahalnya harga kebutuhan pokok di tengah kondisi keuangan yang sulit. Apakah penilaian ini sepadan?

Pernyataan Amin Rais (Kompas, 14 Mei 2008) yang bernada ganjil, menilai reformasi telah gagal adalah naif, bila itu disuarakan oleh seorang yang dijuluki tokoh reformasi. Reformasi tidak dijalankan oleh Amin Rais sendiri, tetapi oleh banyak kekuatan. Jika yang dimaksud kegagalan seorang Amin Rais, adalah wajar dan manusiawi. Tetapi bangsa ini pantas kecewa jika pernyataan itu berangkat di atas sikap all or nothing; semuanya atau tidak sama sekali.

Siapupun boleh kecewa, karena perbaikan nasib pasca reformasi tidak kunjung wujud. Tetapi bagaimana mungkin menafikan kerja keras seluruh elemen bangsa yang serius memperbaiki nasib, di tengah membludaknya oknum korup di segala bidang?

Nurcholish Madjid (1939-2005) sosok pemikir kebangsaan yang berjuluk guru bangsa mengatakan Indonesia adalah bangsa yang masih dalam pertumbuhan “penjadian diri” (in making). Dinamika perkembangan Indonesia sebagai bangsa dan negara dengan ups-and-downs dan trial and error-nya, mengakibatkan banyak kejadian yang tidak terduga sebelumnya. Boleh jadi kejadian-kejadian tak terduga itu (semisal kenikan harga BBM) merupakan sebuah kewajaran bagi bangsa bagi bangsa dan negara muda yang sedang tumbuh dengan cepat (Nurcholish:Indonesia Kita, 2003)

Siapa yang menduga reformasi berjalan seperti hari ini? Meskipun demikian, menyelami maksud tokoh yang disapa Cak Nur itu, kejadian-kejadian tak terduga itu bukannya tidak mempunyai arti positif bagi perjalanan bangsa ke depan. Kejadian-kejadian yang yang melemahkan persatuan bangsa dan pemerintahan itu paling tidak telah menunjukkan titik lemah negara dan segenap pengelolanya.

Dalam kondisi yang sedemikian itu, sepertinya tidak perlu ada pesimisme yang mengobrak abrik konstruksi baru reformasi yang sedang berjalan. Pernyataan Amin Rais itu berpotensi memecah belah kekuatan reformasi dan kepercayaan rakyat terhadap proses reformasi.

Logika ushul fiqh (islamic yurisprudency) yang sering digunakan oleh fuqaha’ negeri ini, ma la yudraku kulluh, la yutraku kulluh; apa yang tidak bisa didapatkan semuanya, tidak semuanya harus ditinggalkan. Jika reformasi hari ini belum sepenuhnya sesuai dengan harapan, tidak berarti reformasi harus ditinggalkan.


Masa depan reformasi

Anis Baswedan, Rektor Paramadina Jakarta (Kompas,12 Mei 2008) mengatakan arah reformasi sudah benar, yang dibutuhkan adalah mempercepat proses. Penilaian Anis Baswedan benar, reformasi berjalan lambat dan bukan berjalan di tempat. Sayangnya motor penggerak sejarah reformasi telah “mencla mencle” seperti kacang di abuih ciek (sebutir kacang direbus dalam wadah yang besar). Tak tahu ia harus ke mana. Dinamikanya tinggi, tetapi yang terjadi adalah polak gerak tak menentu.

Kelambatan reformasi disebabkan oleh besarnya pertarungan kepentingan kelompok kepentingan yang selama Orde Baru terkekang. Kebebasan yang diperoleh di era reformasi dipergunakan untuk memperoleh kemenangan baru atas kompetitor yang senasib dan sepenanggungan. Kelompok kepentingan itu boleh disebut partai politik dan elitnya.

Kemungkinan lainnya, peta aktivitas dunia global tidak bisa diabaikan. Misalnya dalam masalah minyak seperti disebut di atas. Belum lagi persoalan Keadilan, Hak Asasi Manusia, Bencana alam, hutang luar negeri dan sebagainya yang membuat Indonesia pusing tujuh keliling.

Tetapi patut juga mempertimbangkan teori Carol H Weiss yang keberhasilan dan kegagalan. Weiss menyatakan, pertama; sebuah program dinilai berhasil bila, program berjalan dan proses membawa pada efek yang diinginkan. Kedua; sebuah program dianggap gagal bila program berjalan dan proses tidak membawa pada efek yang dinginkan. Ketiga; ia sebut dengan kegagalan teori di mana program berjalan namun dalam jangka waktu yang panjang, proses tidak membawa kepada efek yang diinginkan.

Jika reformasi itu sebuah teori, Reformasi yang baru berjalan selama satu dekade tentunya belum masuk pada kesimpulan kegagalan teori. Untuk menguji sebuah teori tentu butuh waktu yang panjang. Selama satu dekade ada begitu banyak percobaan setelah teori ”keserbatunggalan” Orde Baru. Dan percobaan itu sebagian berhasil dan sebagian gagal.

Dalam konteks percobaan, bisa jadi reformasi baru berada dalam tahap kegagalan program. Oleh sebab itu masih mungkin untuk mencoba beberapa program lainnya berangkat dari evaluasi kegagalan sebelumnya.

Pertaruhan Zaman

Dan sekali lagi, jangan memutlakkan. Sebab sikap itu akan menghilangkan rasa penghormatan dan penghargaan atas karya bangsa sendiri. Di samping itu, keserbamutlakkan itu lebih jauh membawa ke jurang perpecahan. Contoh teranyar dari pemutlakan itu adalah kasus Ahmadiyah baru-baru ini.

Kaidah ushul fiqh mengajarkan “al muháfadzatu ‘an-i al qadîm-i al shálih, w al akhdzu ‘an-il jadîid-i al ashlah” ; memelihara yang lama yang bik dan mengambil yang baru yang lebih baik. Islampun dalam kenyataannya sangat akomodatif dengan situasi lama yang masih baik dan tidak serta merta menghapus (nasakh) yang lama. Di situlah letak Islam sebagai agama yang sempurna-menyempurnakan yang sudah ada.

Artinya, reformasi sudah hadir dan memberi ruang yang lapang bagi anak bangsa Indonesia untuk mengurus dirinya. Dalam keadaan diambang kebangkrutan, dibutuhkan penggerak-penggerak baru roda reformasi. Salah satu kebangkrutan yang perlu dikhawatirkan adalah menurunnya jumlah reformis. Reformis itu adalah orang yang tiada henti melakukan reformasi.

Jika merujuk perjalanan sejarah Indonesia pasca kemerdekaan, Indonesia telah melewati tiga zaman, yaitu demokrasi terpimpin yang despotis, Orde Lama yang menyesakkan, dan Orde Baru yang tiranik dan militeristik. Lalu apa julukan yang tepat untuk zaman reformasi? Jika reformasi ditanggapi dengan pesimis, justru wibawa para pejuang reformasi sedang dipertaruhkan. Nasib seluruh anak bangsa juga dipertaruhkan! Para penggerak sejarah, berbuatlah!

Jumat, 16 Mei 2008

15 May 2008

Perang melawan Tirani; Teror Global Atau Jihad Global?


Oleh: Muhammad Nasir
Ketua Divisi Organisasi
Majelis Sinergi Islam dan Tradisi Indonesia
(Magistra Indonesia) Padang


Hari itu, Selasa 11 September 2001, menara kembar World Trading Center (WTC) dihantam dua pesawat yang diduga dibajak teroris pimpinan Usamah bin Laden. Dugaan ini diperkuat pernyataan beberapa faksi al Qaidah menyatakan bertanggungjawab terhadap penyerangan itu.

Al Qaidah (al Qaeda), mengklaim dirinya sebagai organisasi jihad internasional dengan agenda jihad global. Aksi-aksi itu selalu diletakkan dalam kerangka mencapai tujuan yang lebih besar (perjuangan), yakni sebagai cara untuk menjalankan apa yang mereka pandang sebagai jihad membela kepentingan kaum Muslim dan umat manusia secara keseluruhan. Sementara Amerika Serikat (AS) dan sekutunya melihat al Qaeda sebagai organisasi teroris Internasional. Perang melawan al Qaeda berarti perang melawan terorisme internasional (terorisme global). Begitupun sebaliknya, al Qaeda menjadikan AS dan sekutunya sebagai sasaran jihad global dengan alasan AS dan sekutunya itu dedengkot tirani global. Tidak salah jika ada yang menyebut WTC sebagai simbol dari World Tyranic Center.

Jika al Qaeda dituduh terlibat dalam aksi WTC 2001, di Indonesia Abu Bakar Ba’ayir, Amrozi, Imam Samudra dll dituduh sebagai dalam pengeboman di beberapa tempat di Indonesia, seperti Bom Bali I, II, Bom Kedutaan Besar Australia, Bom Natal dsb. Mereka di atas yang terkait dengan organisasi MMI, JI diduga kuat mempunyai hubungan ideologis dan organisastoris dengan operator teroris besar al Qaeda. Mereka justru seperti membenarkan tuduhan itu dalam bentuk persetujuan terhadap aksi penabrakan Gedung WTC. Sikap ini menambah keyakinan bahwa JI dan MMI merupakan organ dari al Qaeda.

Pertanyaan penting untuk ini, Peristiwa WTC 2001, tonggak sejarah atau bukan? Kalau iya, berarti ada pengakuan terhadap keabsahan program Perang melawan terorisme global yang dimotori Amerika Serikat. Hal ini sekaligus mengukuhkan posisi al Qaeda sebagai organisasi teror. Pengakuan terhadap perang global ini berarti menjadi sejarah baru peperangan besar pasca Perang Dunia II. Artinya jika tidak mungkin disebut sebagai Perang Dunia III, paling tidak setingkat di bawah itu.

Kalau tidak bisa dijadikan tonggak sejarah baru, maka peristiwa WTC 2001 cukup dimaknai sebagai sebagai serangan biasa sekelompok orang melawan hegemoni Amerika Serikat atau Barat yang telah bergerak ke arah praktek tirani. Setidak-tidaknya sebut saja aksi teror terhadap Amerika atau Barat, dan tidak perlu ditakuti oleh negara-negara lainnya yang tidak terlibat dalam praktek tiranisme, imperialisme dan kolonialisme global gaya baru.

Tirani Global

Tentang teror global dan jihad global yang jadi judul tulisan ini memang sebuah persoalan besar. Di satu sisi, istilah teror global menunjukkan makna negatif berupa bahaya bagi tatanan dunia, ketakutan bagi manusia dan mungkin saja kehancuran bagi infrastruktun dunia. Di sisi lain, istilah jihad global mengacu pada musthalahat agama Islam yang digunakan oleh kalangan Islam sebagai tujuan baik. Oleh sebab itu menjadi masalah besar jika teror global disandingkan dengan jihad global. Rivalitas yang memungkinkan untuk istilah ini adalah perang tafsir atas peristiwa WTC 2001.

AS dan sekutunya semestinya juga memahami bahwa ternyata berbagai aktivitas politik internasionalnya bagi negara lainnya dirasakan sebagai tindakan tirani. Tidak hanya bagi umat Islam, ternyata beberapa negara di Amerika Latin ternya merasakan hal yang sama; tidak nyaman dengan dominasi AS dan sekutunya dalam tatanan global.
Perasaan tidak nyaman yang diakibatkan tindakan AS dan sekutunya pada hakikatnya merupakan bentuk lain dari teror. Maka semestinya juga perlu mengkaji ulang makna peristiwa WTC 2001, paling tidak dengan mewaspadai konsekwensi baru globalisasi yaitu praktek tirani.

Isu Fundamentalisme Islam

Belakangan ini, label Islam yang diikutkan dengan nama seperti “fundamentalis”, “militan”, “radikal”, “teroris”, “modernis”, “liberalis”, dan “sekularis”, dan lain-lain. Singkatnya, berbagai nama tersebut sudah sangat umum dipakai dalam mengkaji dan mengulas Islam moderen. Bahkan, isu “fundamentalisme Islam” telah menyedot perhatian, jauh sebelum Perang Dingin (the Cold War) berakhir. Para sarjana telah mendeskripsikan dan menganalisis gelombang baru itu sebagai fundamentalisme agama sebagai tandingan dari modernisme dan sekularisme.(Martin Marty dan Scott Appleby dalam Tibbi, 2000)

Fenomena ini menjadi menarik untuk diperbincangkan terutama dalam konteks perkembangan gerakan Islam dengan segenap tantangannya. Apalagi ada upaya membenturkan peristiwa WTC 2001 dengan gerakan fundamentalisme Islam radikal.
Jika menggunakan terminologi Fundamentalisme sebagai sebagai “a revolt against the intrusive secular state.” (Leonard Valerie J. Hofman, 1995) bentuk perlawanan terhadap ideologi negara sekuler, atau deskripsi Leonard Binder tentang fundamentalisme Islam sebagai “in a sense…an ideological dimension of the movement to restrict the power of the state”, maka penting juga untuk mempertimbangkan alasan kelompok yang dicap fundamentalis itu.

Indonesia, sebagai negara mempunyai peluang sebagai tempat tumbuhnya fundamentalisme seandainya gagal mewujudkan kesejahteraan. Sebagai kesimpulan singkat, dapat ditegaskan bahwa fundamentalisme Islam akan eksis di tengah suatu kondisi ketidakdilan dunia global, kemiskinan, penindasan dalam satu tatanan dunia yang bersifat tidak menyertakan (Ridwan al-Makassary, StatCounter.com). Maka fundamentalisme Islam sebagai sebuah gerakan perlawanan adalah suatu yang mungkin, bahkan dalam konteks gerakan oposisi terkadang diperlukan. Dengan logika ini, gerakan fundamentalisme Islam jika dihadapkan dengan tirani global juga dibutuhkan, dengan catatan mengambil jalan yang lebih cantik menggunakan cara-cara santun dan simpatik untuk mengais dukungan masyarakat global.

Sayangnya kelompok fundamentalis Muslim di Indonesia masih hobi melakukan tindakan premanisme dan kekerasan yang merugikan banyak pihak. Dilihat dari perspektif apapun, cara-cara “barbar” ini hanya akan merugikan dan memerosotkan citra Islam sebagai agama yang concern pada perdamaian global dan menjunjung tinggi kebebasan sipil.

Reformasi: Pahlawan dan Ketidakadilan Sejarah

Oleh: Muhammad Nasir
Penulis adalah Ketua Divisi Organisasi
Majelis Sinergi Islam dan Tradisi Indonesia
Magistra Indonesia)- Padang


George Santayana, filosof Spanyol mengatakan siapapun yang tidak dapat belajar dari sejarah, dengan sangat konyol akan mengulangi. Perkataan Santayana ini tentu mengacu kepada sejarah kelam, bukan sejarah kecemerlangan. Jika yang diulangi itu keberhasilan, tentu tidak masalah dan dalam istilah lain mengulangi praktek terbaik (best practice) adalah halal.

Pertanyaannya, adakah best practice dari reformasi Indonesia yang telah berumur sepuluh tahun? Siapapun tentu tidak bermaksud memutlakkan kegagalan reformasi dan sebaliknya juga tidak harus memuji reformasi setinggi langit. Jawaban yang mungkin diberikan adalah, bahwa reformasi sudah berjalan dan dalam satu dekade perjalanannya, agenda reformasi telah mengalami proses jatuh dan bangun.

Bagaimanapun orang Indonesia harus berterima kasih kepada sejarah. Sejarah reformasi yang dimulai dengan suasana yang pilu; krisis ekonomi moneter, krisis politik (kepemimpinan), kemelaratan, ketertindasan dan sebagainya telah mendorong warga bangsa untuk melakukan perubahan. Perubahan itu dinamakan reformasi. Awal reformasi itu ditandai dengan mundurnya Soeharto dari jabatan presiden pada 21 Mei 1998.

Tidak boleh ada pengandaian dalam sejarah. Seandainya Soeharto tidak mundur, reformasi belum tentu terjadi. Kalimat ini sangat haram dan melawan sunnatullah. Soeharto yang lemah dengan beban negara yang berat meniscayakan kejatuhannya. Oleh sebab itu, mesti ditinjau kembali status pahlawan reformasi bagi siapapun yang saat ini mendaku pahlawan reformasi, sekaligus berjuang mempahlawankan seseorang atau institusi tertentu.

Keadilan Sejarah

Peristiwa reformasi yang dihias dengan tumpahnya massa ke jalanan, orasi para tokoh dan kerusuhan di mana-mana seolah-olah berupaya memaksa orang-orang untuk memahlawankan (misalnya) mahasiswa, Amin Rais dan ormas-ormas tertentu. Di satu sisi ini merupakan fakta keras yang seakan tak terbantahkan. Tetapi pada sisi yang lain ternyata ada ruang abu-abu yang belum jelas sosoknya. Bagaimana memahami sisi abu-abu ini?

Yang dimaksud ruang abu-abu abu-abu adalah sebuah tempat di mana mahasiswa, tokoh nasional, ormas berproses mengolah kelahiran reformasi. Dalam ruang itu ada peristiwa-peristiwa yang tidak melulu berisi demonstrasi dan orasi. Dalam ruangan itu ada jeritan ibu-ibu yang berjibaku memenuhi kebutuhan dapur, sopir-sopir angkutan kota yang sibuk mencari bahan bakar, dan tentu saja ada korban-korban penjarahan yang menderita akibat situasi “chaos” yang direkayasa sedemikian rupa, untuk kepentingan percepatan aksi reformasi.

Dalam konteks ini, reformasi memang memunculkan pahlawan, tetapi pada saat yang sama reformasi telah memakan korban. Dalam perjuangan pengorbanan adalah hal yang biasa. Akan tetapi apabila berbicara tentang kepahlwanan, adalah tidak arif bagi bangsa yang konon berbudi luhur. Kepahlawanan itu dibangun di atas puing-puing korban yang ternyata orang-orang lemah.

Tragedi Trisakti, yang merenggut nyawa beberapa mahasiswa misalnya, memang patut disesali. Para mahasiswa itu mati untuk perjuangan reformasi. Tetapi akan sangat berbahaya jika ada upaya tuntutan yang berlebihan terhadap penyelesaian kasus itu. Bahayanya terletak pada upaya mendominasi ingatan bangsa terutama bila itu menjadi sejarah tunggal reformasi dengan aktor utamanya mahasiswa. Dengan demikian, korban lainnya seperti Tragedi Mei Berdarah di Makasar, kelaparan akibat kesulitan pangan, marasmus, korban penjarahan, perkosaan dan sebagainya tidak mendapat tempat dalam sejarah reformasi. Mereka-mereka ini tidak mendapatkan keadilan sejarah.

Ada baiknya Tragedi Trisakti diposisikan sebagai puncak otoritarianisme dan kekerasan negara terhadap warga, sebab menjelang puncak itu, selama kurang lebih 32 tahun Orde Baru telah melakukan kekerasan yang tak kalah dahsyat, dengan korban yang lebih besar.

Reformasi Tanpa Pahlawan

Reformasi adalah konstruksi baru di atas kegagalan Orde Baru yang akut. Reformasi tidak lahir dari ruang hampa. Reformasi lahir dari kegagalan piranti negara sebagai pelindung dan penjamin kesejahteraan warga negara. Karena itu reformasi adalah sebuah keharusan sejarah.

Reformasi adalah sebuah kondisi yang menginginkan perubahan. Dalam perspektif Ibnu Khaldun (Rosenthal, 1967) perubahan di mana rakyat Indonesia menginginkannya, rakyat membutuhkan kekuasaan (pemerintahan) yang kuat. Pada tahun 1998 itu, pemerintahan Indonesia tidak lagi kuat. Hantaman dari dalam (perangkat tata negara) dan badai krisis ekonomi dunia telah memperlemahan pemerintahan Soeharto. Maka, peran mahasiswa dan tokoh nasional pada waktu itu tidak lebih sebagai agent of change. Lebih dari itu yang dibutuhah reformasi dan bangsa ini adalah kehadiran reformis.

Dan jika terpaksa mencari pahlawan, reformis itulah yang layak dipahlawankan.
Lebi jauh lagi, reformasi ternyata tidak semata-mata perjuangan tokoh. Tetapi reformasi merupakan sejarah yang deterministis. Faktor penentu reformasi itu ternyata pada situasi yang mendorong ide reformasi itu sendiri. Dengan logika inilah, pahlawan reformasi tidak perlu diagungkan, mengingat begitu banyaknya korban yang jatuh dalam situasi bangsa pra- dan pada gerakan reformasi.

Lalu, bagaimana agar seluruh elemen yang terlibat dalam gerakan reformasi mendapat tempat yang sama dalam memory sejarah bangsa Indonesia? Untuk hal ini, mau tidak mau, harus ada keluasan pandangan bawa sejarah itu merupakan mekanisme interaksional antar aktor, baik individu maupun institusi, bukan semata-mata konflik antar tokoh dan semata perjuangan mempertahankan hidup sekelompok atau individu tertentu. Sejarah reformasi adalah sejarah bangsa.

Jika reformasi dimaknai sebagai sebuah fenomena konflik, wajar saja bila reformasi sampai satu dekade ini menjadi suatu ajang yang dalam analisa Dahrendorf (1959) tentang konflik sebagai konflik yang bersumber struktural, yakni hubungan kekuasaan yang berlaku dalam struktur sosial. Jika ini benar, tidak heran, reformasi Indonesia bergerak ke arah politik perebutan kekuasaan, tidak berupaya membalikkan keadaan ke arah yang lebih baik dari Orde Baru.

Demi keadilan dan sejarah yang benar, maka reformasi harus kembali kepada khittahnya. Dalam mengisi reformasi, tidak perlu berjuang memperoleh status pahlawan, tetapi bagaimana merubah keadaan agar korban-korban seperti yang terjadi pada masa Orde baru dan perjuangan Reformasi 1998 tidak hadir kembali dalam memory sejarah bangsa.

Reformasi harus mempertimbangkan faktor penentu (determinant) gerakan reformasi itu sendiri, yaitu rakyat. Jika tidak, maka ketidak adilan akan senantiasa hadir dalam sejarah, dan ketidakadilan sejarah juga otomatis muncul bila orang-orang tertindan senantiasa terlupakan. Akhirnya sejarah hanya dipenuhi cerita-cerita tentang pahlawan (mungkin juga pahlawan reformasi). [Padang, 14/5/2008

14 May 2008

Identitas


Oleh : Muhammad Nasir
Peneliti Magistra Indonesia


Cita-cita rakyat pasti tidak jauh-jauh dari cita-cita pemimpinnya. Jika pemimpin menginginkan uang, punya handphone terbaru, rumah, mobil mewah dan sebagainya, rakyat mungkin juga begitu. Rasanya tidak ada yang berbeda dari rakyat dan pemimpin. Persoalan berpikir, rakyat juga dipusingkan tujuh lingkar obat nyamuk memikirkan dapur hingga kembali lagi ke dapurnya. Bekerja keras apalagi. Tidak hanya pemimpin. Rakyat juga begitu. Apa kurang keras bantingan tulang rakyat untuk mendapatkan uang untuk hari itu juga dan untuk dimakan hari itu juga?

Yang jadi masalah sekarang…, adakah kewajiban rakyat untuk meniru pemimpinnya? Atau malah sebaliknya, adakah kewajiban pemimpin meniru rakyatnya?

Dalam dunia persilatan dikenal satu kumpulan orang-orang yang terdiri dari pengemis. Yang mengepalakantori, kira-kira tidak jauh lebih baik dari mereka. Pengemis. Tampilan sang kepala pengemis ?. tentu saja sama dengan anggotanya. Penuh tambalan, dekil dan bau. Mungkin lebih bau. Soalnya yang diangkat jadi kepala adalah orang yang paling pintar ngemis, paling nestapa potongannya, paling jelek bajunya dan paling bau tubuhnya. Nah…hebatnya mereka punya identitas. Tongkat, batok kelapa atau kaleng rombeng serta baju penuh tambalan. Bila bertemu di jalan dan ada orang yang bertanya, jawaban orang akan relative sama. Siapa dia ?. Pengemis!

Sekarang, kondisi diatas rasanya masih relevan. Persoalannya Cuma ketidak samaan identitas antara pemimpin dan rakyat. Ekstreemnya identitas itu nyaris tidak ada. Kalau tidak salah mata memandang, beda pemimpin dan rakyat itu sejauh Jakarta – Amerika bila ditempuh dengan jalan kaki. Perbedaan itu tidak muncul bukan karena baju yang dijual di Indonesia itu beraneka ragam. Misalnya baju Itali, Perancis atau Bandung. Atau disebabkan rakyat itu “ada tampang” jadi gembel, dan pemimpin itu ada “takah” untuk jadi raja. Sehingga kalau rakyat disandingkan dengan pemimpin akan terlihat bedanya. Minimal dari kilat kening dan minyak rambutnya, atau kilat sepatunya.

Kembali ke identitas. Jika dibuat profil orang Indonesia, manakah yang laku di jual ke penyandang dana?. Misalnya, jika ada sebuah LSM membuat profil orang Indonesia yang sedang “sakit”, manakah yang layak disehatkan (diberdayakan) dalam program community development?. Rakyat dulu atau pemimpinnyakah?. Ujar-ujar orang bijak menyatakan “ kalau pemimpinnya kencing berdiri, bagaimana rakyatnya?. Atau “kalau rakyat kencing berdiri, bagaimana cara kencing pemimpinnya?”. Nah, mengenai mana yang harus diberdayakan lebih dahulu, jawabannya mungkin sama sebangun dan sama sisi dengan pertanyaan “mana yang dulu ayam dari telur?”.

Mengingat dan menimbang perbedaan yang mencolok antara rakyat dan pemimpin itu, sepertinya perlu disusun identitas baru bagi orang Indonesia. Soalnya sulit juga merumuskan orang Indonesia jika masih ada multi sigi dan sebutan untuk orang Indonesia. Ada rakyat, ada pemimpin, ada teroris dan sebagainya.

LSM yang bergiat dalam program good governance mengusulkan agar pemerintah yang pertama harus diberdayakan. Segenap aparatur pemerintah harus dibekali ketrampilan mengenai tata cara mengatur pemerintah yang baik, dan tata cara mengelola asset dan potensi daerah dengan baik, atau bagaimana cara mengambil keputusan yang baik agar rakyat tidak merasa “nggak dianggap”. Semuanya bertujuan agar layanan (public service) lancar ibarat air terjun.

Begitupun LSM yang bergiat di bidang pendampingan masyarakat (community assistances) atau pemberdayaan masyarakat (community empowerment). Mereka mengusulkan agar rakyat yang harus diberdayakan lebih dahulu. Karena sokogoru pembangunan itu memang rakyat, kata pegiat LSM. Semua harus didasari oleh kehendak rakyat. Bottom Up, istilah kerennya. Tidak heran jika dalam usulan ini ikut tenar istilah partisipatif (baca : bukan mobilisasi) keberpihakan dan sebagai. Tujuannya tidak lain agar rakyat punya identitas.

Asal tahu saja, “usulan” yang dimaksud oleh LSM yang main “di atas” (pemerintahan) dan yang main “di bawah” (rakyat) adalah “proposal”. Nah. Siapakah yang mau membiayai program memperbaiki identitas orang Indonesia ini ?. Moralis atau kapitalis?

Tetapi persoalan tidak harus selesai sampai di sini. Tidak cukup menunggu kucuran dana perbaikan identitas. Kedalampun harus ada kesadaran bersama bahwa “orang kita”, baik rakyat dan pemimpin itu harus sama-sama belajar. Kalau bisa dikenakan wajib belajar. Misalnya belajar akur kepada kehendak bersama. Rasanya kehendak bersama “orang kita” saat ini adalah bagaimana bisa merdeka dari rasa lapar dan aman dari godaan dan ancaman.

Bagaimana mungkin bisa terwujud identitas baru jika salah satu pihak bertepuk sebelah tangan? Kata pemimpin rakyat harus ikut dan patuh kepada kehendak pemimpin. Kata rakyat, pemimpin yang harus ikut rakyat, karena rasanya dari dulu permintaan rakyat tidak banyak, cuma minta kesejahteraan. Jika rakyat ikut pemimpin konsekwensinya adalah kesejahteraan rakyat minimal beda tipis dengan kesejahteraan pemimpin. Sebaliknya, jika pemimpin ikut rakyat, maka siap-siaplah jadi rakyat, bergabung dengan penderitaan rakyat. Setelah itu kita buat Gerakan Rakyat Miskin untuk Kesejahteraan. Siapa yang memimpin? Ya, pemimpin itu tadi!. Dengan demikian pemimpin tidak kehilangan roh kepemimpinannya. Begitulah kira-kira !
****
Ditulis Padang, Mei 2005

Masa Depan Kemerdekaan RI

Oleh: Muhammad Nasir
Mahasiswa Pascasarjana IAIN Imam Bonjol Padang
Magistra Indonesia Padang

Kemerdekan historis (17 Agustus 1945) sangat manis untuk dikenang. Persatuan dan kesatuan seluruh anak bangsa tidak hanya indah pada kata-kata, tetapi lebih jauh menampakkan wujud idealnya. Buktinya, dari Sabang sampai Merauke seluruh elemen perjuangan kemerdekaan melebur dalam satu cita-cita; merdeka!
Selebihnya, Nyaris tidak ditemukan persoalan mendasar dalam aspek strategis dan taktis perjuangan. Perbedaan ideologis pada waktu itu tidak lebih hanya sekedar semangat untuk menggairahkan perjuangan. selain itu, suasana yang sangat heroic dan plural itu saling berterima dalam satu konstitusi yaitu Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945).

Perdebatan penting tentang dasar negara memang sempat menghangat. Umat Islam sempat menginginkan tercerminnya syari’at Islam dalam dasar negara. Kaum Nasionalis juga menghendaki kesatuan bangsa atas dasar nasionalisme (nation state). Begitu juga suara-suara dari kelompok budaya dan agama minoritas juga mendapat respon yang baik dalam menyusun dasar negara. Akhirnya jadilah Pancasila menjadi dasar negara. Tidak heran Pancasila kemudian disebut sebagai titik temu (melting pot) bagi berbagai kepentingan atas nama apapun yang ada di negara Indonesia.

Pelajaran terpenting dari kemerdekaan secara historis itu adalah bahwa dalam waktu singkat, semua elemen perjuangan berbasis agama, suku, dan ras dapat dipersatukan. Betapa tinggi dan luhurnya budi elit dan anak bangsa kala itu. Berikutnya, yang tak kalah penting, sisa proklamasi yang nyaris hilang saat ini adalah semangat persatuan dan kesatuan sebagai wujud partisipasi dalam membangun cita-cita kemerdekaan.
Perjuangan kemerdekaan memang sebuah upaya menghapuskan penjajahan dari muka bumi nusantara, utamanya dari cengkraman kolonialis Belanda, Jepang dan semangat fasisme yang melanda hampir separuh Asia dan Afrika kala itu. Perjuangan itu sudah selesai. Akan tetapi dengan diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia, tidak serta merta membuat penjajahan hilang dari negeri ini. Paling tidak sampai saat ini masih tersisa mental penjajah dan mental bangsa terjajah (pecundang) yang menghambat pencapaian kemerdekaan 100 %, istilah Tan Malaka.

Time line perjuangan ke arah kemerdekaan yang sesungguhnya sangat mudah dilihat. Lebih kurang 62 tahun kemerdekaan, penjajahan seperti datang silih berganti. sejatinya, kemerdekaan itu adalah bebasnya anak bangsa dari rasa takut, kekerasan, rasa lapar, kebodohan dan belenggu birokrasi yang menghambat kemajuan anak negeri kepada kesejahteraan. Berbagai kemajuan fisik Indonesia pasca proklamasi tidak dapat menghilangkan kesan bahwa, lepas dari Belanda dan Jepang, secara bergantian negara ini diperintah oleh berbagai rejim yang cenderung korup dan mencekik rakyat.

Selama duapuluh tahun rakyat Indonesia hidup di bawah bayang-bayang Orde Lama yang mabuk kepayang dengan kemerdekaan. Berikutnya, selama tigapuluh dua tahun hidup dalam kebahagian semu (pseudowelfare) yang dibangun Orde Baru di atas pondasi ketakutan, konglomerasi dan hutang luar negeri. Hingga tiba saat yang pada awalnya dirindukan sebaga era kebebasan ke dua yaitu reformasi. Sayangnya pada era reformasi ini, rakyat Indonesia kembali tertunda kemerdekaannya akibat merajalelanya syahwat politik elit dan partai politik. Akhirnya muncul sebuah pertanyaan dari generasi muda sekarang, dan cenderung pesimis, ke mana arah perjuangan kemerdekaan RI akan bergerak?

Malpraktik Demokrasi; Menuju Tirani Baru ?

Enampuluh dua tahun menjadi manusia yang bebas bukanlah waktu yang sedikit. semestinya banyak pelajaran yang bisa diambil oleh para pengurus bangsa ini untuk terus menerus memperbaiki praktik penyelenggaraan negara. Untuk tidak menyebutnya sebagai suatu kebodohan, enampuluh dua tahun sudah cukup untuk belajar dari segala kesalahan dalam menyelenggarakan negara. Sudah banyak model penyelenggaraan negara yang telah diuji coba di negara ini. Semestinya para pemimpin bangsa tinggal menarik sintesa dari dialektika nasional kita.

Bolehlah, pada akhirnya sesuai dengan zeitgeist dunia saat ini, demokrasi memenangkan persaingan dalam menentukan model penyelenggaraan negara. Penyebabnya adalah karena isu demokrasi secara historis adalah perlawanan terhadap totalitarianisme dan otoritarianisme. Banyak contoh yang menunjukkan kemenangan demokrasi berada pada ranah kekuasaan yang mengkebiri hak-hak sipil dan penguasaan yang tak terbatas terhadap warga dalam menentukan nasibnya sendiri.

Secara historis, kemerdekaan Indonesia yang diraih pada 17 Agustus 1945 merupakan perwujudan semangat demokrasi. Demokrasi dalam perspektif kehendak rakyat menjelma dalam bentuk negara bangsa (nation state) yang bernama Indonesia. Hal ini terwujud karena bangsa Indonesia melalui ratusan suku bangsanya sudah memiliki semangat demokrasi dalam setiap akar budayanya. Oleh sebab itu demokratisasi Indonesia tidak berangkat dari ruang hampa (tabularasa).

Soal berdemokrasi “Mengubah tradisi buruk sebuah bangsa dan memperkenalkannya dengan hal yang baru, meskipun lebih baik, bukan lah hal yang mudah, dan bukan pula pekerjaan sehari (Richard M. Ketchum (ed): 2004). Tetapi bagi Indonesia, mengubah perilaku buruk dalam waktu 62 tahun, terasa cukup lama. Time of response terhadap ide-ide dasar perjuangan kemerdekaan terasa teramat panjang sekaligus menunjukkan kepada dunia, betapa lemahnya daya ingat bangsa Indonesia. Betapa sulitnya bangsa ini belajar dari masa lalunya.

Keharusan dalam menerapkan demokrasi dalam hidup bermasyarakat dewasa ini semestinya diterapkan dalam bentuk persemaian benih keadilan, persamaan hak (duduk sama rendah – tegak sama tinggi), kesejahteraan. Keharusan lainnya yang universal dalam menghidupkan demokrasi adalah kesukarelaan dalam melakukan kewajiban, keikhlasan dalam memberikan hak dalam pergaulan hidup bermasyarakat, bernegara dan berdunia.
Kekhawatiran terhadap nasib kemerdekaan adalah, jika demokrasi sebagai semangat awal membangun bangsa tidak dapat mengajari seluruh elemen bangsa, maka kemerdekaan itu sendiri berarti suatu proses pembebasan dari satu tirani, kepada tirani lainnya. Sederhananya, 62 tahun kemerdekaan Indonesia tidak lebih sekedar “lepas dari mulut harimau, masuk ke mulut buaya”. Akhirnya otoritarianisme dan despotisme akan selalu menjadi musuh abadi kemerdekaan.

Dimuat di: Haluan, Kamis, 16 Agustus 2007

Reformasi; Pohon Tinggi itu masih berdiri

Muhammad Nasir

Ingatkah engkau teman,
di mana kita hidup 32 tahun yang lalu?
Di tempat yang tinggi, di sangkar emas,
di kaki awan, di pohon rindang,
di... ? (sementara angin bertiup kencang)

Di dahan lapuk!
Orang-orang menyebutnya orde baru
Tiba-tiba saja dahan itu runtuh,
dan kita menfardhukan dahan baru
untuk bertengger. Kita namakan itu reformasi

Pada saat yang bersamaan,
ada yang tidak sabar mencarikan pijakan baru
untuk kembali ke atas pohon.
Alih-alih mencari pijakan,
justru yang terjadi saling injak
untuk menggapai dahan –yang celakanya-
Dahan itu tidak ada lagi di sana.

Sebagian orang berteriak,
inilah akibat pembangunan yang tidak
diletakkan pada dahan yang kokoh.
Jangankan dijadikan pegangan
untuk memanjat lebih tinggi,
sisa patahannyapun tidak ada lagi.

Apatah daya?
Satu dekade reformasi, seraya merenung,
Orang-orang kembali melihat ke atas,
di mana dahan bernama Orde Baru itu dulu bergantung?.
Ah, seandainya dahan itu masih di sana.
Ah, tiba-tiba ingat Soeharto. Kakek Pemilik dahan itu.
Ia sudah meninggal beberapa waktu yang lalu
Dua bagian terakhir ini yang perlu dilupakan.

Sekarang ini tinggal sebatang pohon tinggi
menjulang ke langit. Tanpa dahan
tempat berpegang dan berpijak.

Sekarang lupakan dahan yang patah,
lihatlah akar tunjang yang menghujam dalam ke bumi.
Masihkan ada harapan untuk hidup?
Jika ada mengapa tidak disiram bersama-sama?

Bukankah masih ada harapan
bagi tunas-tunas kecil yang akan tumbuh
menjadi dahan yang kokoh?
Sabtu, 22 Maret 2008

Satu Dekade Reformasi

Oleh: Muhammad Nasir
Ketua Divisi Organisasi Magistra Indonesia Padang (2007-…..)


Reformasi merupakan titik pusar perkembangan kesejarahan bangsa Indonesia, termasuk waktu referensial perjalanan Indonesia sebagai sebuah bangsa. Waktu-waktu lainnya yang pantas diingat adalah proklamasi sebagai gerak pertama sebagai bangsa merdeka di jalur demokrasi, kemudian era demokrasi terpimpin di masa orde lama, era demokrasi Pancasila di bawah orde baru dan era Reformasi yang belum jelas jantan betinanya. Namun pencapaian terbesar demokrasi di era reformasi adalah terbukanya kesempatan bagi warga negara untuk ikut dalam pemilu sebagai aspek procedural dari demokrasi. Selain itu agenda reformasi sudah menghasilkan…entahlah!

Bagaimanapun, ibarat sebuah pohon, Indonesia itu kembali menjadi sebatang pohon tinggi lurus menjulang ke langit. Sementara, dahan-dahan lama sudah tidak ada lagi bekasnya, meski hanya dipakai untuk sekedar berpijak.

Apa yang diperingati?

Reformasi sempat dimaknai sebagai kesadaran bersama bangsa Indonesia untuk melakukan perubahan. Perubahan yang paling nyata dan paling diinginkan adalah semakin baiknya nasib rakyat dalam berbagai lapangan; ekonomi, politik, keamanan, sosial, budaya.
Reformasi memang berhasil menciptakan suasana politik yang demokratis dan membuka peluang setiap warga negara untuk berperan aktif dalam institusi demokrasi tersebut. Ruang sosial (public sphere) terbuka lebar untuk untuk mengekspresikan kehendak sosialnya dalam rangka memperkuat masyarakat madani. Begitu juga dengan kebebasan budaya, di mana setiap entitas budaya -termasuk budaya Tionghoa yang selama ini dikerangkeng- dapat dengan bebas menunjukkan jati dirinya.

Namun lagi-lagi reformasi dianggap gagal karena persoalan perut warga negara yang sering terancam kenaikan harga kebutuhan pokok. Kedelai susah dibeli akibat diversifikasi pangan. Beras yang terlanjur menjadi makanan pokok bagi penduduk kawasan timur Indonesia yang akrab dengan ubi, jagung dan sagu, mulai susah didapatkan. Mahal! Lalu apa yang pantas untuk diperingati? Paling tidak untuk menjaga kewibawaan zaman reformasi ini penting diingat adalah kesadaran bersama bangsa Indonesia untuk melakukan perubahan.

Apa yang dilupakan?

Reformasi sebagai sebuah proses sudah terjadi ditandai dengan mundurnya penguasa rezim otoritarianisme Orde Baru. Penguasa itu dipanggil Soeharto. Soeharto dalam kekuasaannya yang mencapai 32 tahun (bahkan ada yang menyatakan 33 tahun) telah menciptakan banyak surga di atas dahan yang lapuk. Menjelang keruntuhan dahan itu, semua rakyat merasa puas bertengger dan menikmati segala fasilitas yang dibuat. Rakyat seperti sejahtera.

Tiba-tiba saja dahan itu runtuh, dan reformasi menfardhukan tumbuhnya dahan baru untuk bertengger. Pada saat yang bersamaan, rakyat yang tidak sabar mencarikan pijakan baru untuk kembali ke atas pohon. Alih-alih mencari pijakan, justru yang terjadi saling injak untuk menggapai dahan –yang celakanya- telah runtuh. Dahan itu tidak ada lagi di sana.

Sebagian orang berteriak, inilah akibat pembangunan yang tidak diletakkan pada dahan yang kokoh. Jangankan dijadikan pegangan untuk memanjat lebih tinggi, sisa patahannyapun tidak ada lagi. Apatah daya?
Satu dekade reformasi, seraya merenung, rakyat Indonesia kembali melihat ke atas, di mana dahan yang bernama Orde Baru itu bergantung. Ah, seandainya dahan itu masih di sana. Ah, tiba-tiba ingat Soeharto.

Dua bagian terakhir ini yang perlu dilupakan. Indonesia sekarang ini tinggal sebatang pohon tinggi menjulang ke langit. Tanpa dahan tempat berpegang dan berpijak. Sekarang lupakan perdebatan dan ingatan tentang dahan yang patah, lihatlah akar tunjang yang menghujam dalam ke bumi. Masihkan ada harapan untuk hidup? Jika ada mengapa tidak disiram bersama-sama? Bukankah masih ada harapan bagi tunas-tunas kecil yang akan tumbuh menjadi dahan yang kokoh.

Yang perlu dilakukan

Tidak ada salahnya mengambil manfaat dari setiap peringatan. Semangat apa yang menjadikan bangsa Indonesia beramai-ramai menumbangkan dahan reformasi? Jika pada awal tulisan ini disebut sebagai kesadaran bersama untuk melakukan perubahan. Jika ternyata dalam sepuluh tahun ini dianggap tidak ada yang berubah, tentu saja itu disebabkan oleh ulah bangsa ini juga. Berlomba-lomba memanjat pohon tinggi itu tanpa menyadari ada tunas-tunas kecil yang bergerak tumbuh. Tiba-tiba ia mati digerus kaki dan tangan-tangan yang tidak sabar mencapai puncak.

Semangat tidak akan cukup tanpa ada kesabaran untuk melihat hasil. Kesabaran itu sendiri tidak berarti melambangkan sikap pasrah menunggu hasil. Tetapi makna lebih dari kesabaran adalah keberlanjutan dari amalan serta keyakinan dalam menunggu.

Quo Vadis Kebangkitan Nasional

Oleh: Muhammad Nasir
Magistra Indonesia Padang

KEBANGKITAN NASIONAL merupakan sebuah titik dalam narasi besar perjalanan sejarah perjuangan bangsa Indonesia di awal abad keduapuluh. Di dalamnya mengalir arus-arus kecil yang bermuatan elemen-elemen perjuangan dalam berbagai identitas. Semuanya mengalir pada satu muara; Indonesia merdeka!

Pernyataan di atas berupaya memberi jawaban terhadap keraguan yang berdasar pada klaim-klaim sejarah. Misalnya pertanyaan; mengapa KEBANGKITAN NASIONAL?, bukankah itu upaya pembajakan terhadap sejarah oleh elemen gerakan politik tertentu, terutama elemen gerakan yang berideologi nasionalis? Bagaimana dengan elemen gerakan lainnya seperti gerakan umat Islam dan gerakan berbasis kearifan lokal yang tersebar di seluruh daerah yang kini bernaung di bawah NKRI? Terakhir, mengapa berdirinya Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908 dipandang sebagai Hari Kebangkitan Nasional?
Rangkaian pertanyaan tersebut sejatinya merupakan persoalan kesejarahan yang belum tuntas. Namun di balik itu, ada sinyal yang memberi petunjuk bahwa kebangkitan nasional merupakan produk dari determinisme sosial seluruh anak bangsa Indonesia.
Sinyal tersebut apabila dibaca dalam salah satu perspektif perenialisme bergerak dalam arus keyakinan bahwa bangsa-bangsa (syu'ûb:arab/nations: inggris) sudah ada sejak dahulunya. Dalam terminologi Islam misalnya perenialisme model ini dapat dirujuk pada Q.S. Hujurat (49):31. Versi penulis lainnya digambarkan dengan istilah bangsa yang telah terbentuk entah sejak kapan.

Namun dalam persepsi primordialisme, bangsa merupakan merupakan individu-individu yang ada dalam tatanan alamiah. Dengan kata lain, bangsa-bangsa itu primordial dan telah ada ketika dimulainya waktu dan terletak pada akar dari segala proses dan perkembangan yang muncul berikutnya (Abbé Siéyès dalam Anthony D. Smith,2003).
Jalan tengah yang paling mungkin menjawab asal-usul kebangkitan nasional Indonesia adalah dengan pendekatan determinisme sebagai bentuk dinamis dari pergulatan anak bangsa. Bahwa kebangkitan nasional pasti berangkat dari proses sosial yang amat panjang, dan melibatkan semuanya tanpa mesti membedakan identitas suku, agama, ras dan antara golongan sebagai sumber rekrutmen kaum nasionalis.

Tonggak Kebangkitan

KEBANGKITAN NASIONAL pada masa awal merupakan reaksi natural terhadap kolonialisme dan imperialisme. Wilayah Nusantara sebelumnya sudah saling kenal pada era kerajaan-kerajaan Hindu, Budha dan kerajaan-kerajaan Islam. Pasca kedatangan bangsa Eropa, wilayah-wilayah itu tenggelam dalam satu "perasaian"; penjajahan yang menyakitkan.
Kolonialisme sebagai musuh sentral bila direnungi merupakan grafik menurun dari kendali kekuasaan yang dipegang oleh kerajaan-kerajaan Nusantara klasik. Persatuan nasional (Sumpah Palapa Gajah Mada[?]) yang diharapkan pada era kerajaan klasik belum mendapatkan hasil yang memuaskan. Kecendrungan klenik telah mempermudah bangsa Eropa menguasai Nusantara.

Kedatangan bangsa Eropa pada sisi lain telah berhasil mempersatukan wilayah nusantara dalam satu rasa sebagai bangsa terjajah. Meskipun ada upaya kaum penjajah seperti Belanda menerapkan politik devide et impera, rasa seperasaian ini tidak mudah hilang. Rasa ini dipertegas dengan kenyataan bahwa Belanda ternyata satu bangsa yang sangat berbeda (Eropa) dengan pesan yang jelas; menjajah!

Selanjutnya Kemana?

Berdirinya Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908 dipandang sebagai Hari Kebangkitan Nasional, karena peristiwa itu memang telah mendorong tumbuh dan berkembangnya berbagai organisasi pergerakan kemerdekaan. Corak baru yang diperkenalkan BU adalah kesadaran lokal yang diformulasikan dalam wadah organisasi modern dalam arti bahwa organisasi itu mempunyai pimpinan, ideologi yang jelas dan anggota. Bagaimana memposisikan gerakan-gerakan kebangkitan Islam sebelum itu?
Misalnya, pada 17 Juli 1905 di Jakarta berdiri perkumpulan al-Jam’iyat al-Khairiyah, yang mendirikan sekolah dasar untuk masyarakat Arab. Kurikulumnya modern, karena yang diajarkan di sekolah itu bukan hanya pelajaran agama, tetapi juga berhitung, sejarah, geografi dan lain-lain. Berikutnya 16 Oktober 1905 Syarikat Dagang Islam (SDI) berdiri di kampung Sondokan, Solo, oleh Haji Samanhudi, Sumowardoyo, Wiryotirto, Suwandi, Suryopranoto, Jarmani, Haryosumarto, Sukir dan Martodikoro.
Tahun 1905 Gerakan reformasi dan modernisasi juga meluas di Minangkabau dan perintisnya adalah Syekh Thaher Jalaluddin. Majalah al-Iman adalah alat penyebar reformisme keluar Minangkabau, di samping memuat ajaran agama dan peristiwa-peristiwa penting dunia.

Sedikit organisasi yang sempat tersebut di atas sudah menyumbang peran yang tidak sedikit, terutama dalam hal investasi sumberdaya manusia untuk kebangkitan nasional. Pemikiran kebangkitan Islam secara umum telah memberikan kontribusi yang signifikan bagi perjuangan nasional dan kemerdekaan, sebab pemikiran tersebut berkonsentrasi pada masalah-masalah dan konsep-konsep anti keterbelakangan. Maka gerakan-gerakan sebagai mana disebut di atas dapat dianggap sebagai prakondisi bagi kebangkitan nasional.

Oleh sebab itu, Budi Utomo haruslah dipandang sebagai anak kandung gerakan-gerakan nasionalisme Indonesia, baik gerakan Islam atau gerakan berbasis etnis dan kesukuan. Paling tidak, yang dapat dimengerti dari gerakan Budi Utomo itu, semangat nasionalisme dengan satu tujuan yang senada; Indonesia Merdeka. Indonesia Merdeka adalah hasil kerja keras pada masa gerakan prakondisi.
Bulan ini pada saat usia kebangkitan nasional beranjak satu abad, peran kesejarahan gerakan Islam mesti terus berlanjut. Sejarah bukanlah persoalan masa lalu belaka. Tetapi sejarah adalah kehidupan yang dinamis yang mempunyai arah dan tujuan yang pasti, ”mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka berdaulat adil dan makmur.”

Hanya saja kemerdekaan, kedaulatan, keadilan dan kemakmuran itu masih jauh dari harapan, dan sepatutnya gerakan umat Islam harus kembali menjadi pengawal menuju cita-cita kebangkitan nasional Indonesia. Penjajahan, ketertindasan, ketidakadilan dan kemiskinan merupakan musuh Islam, yang hampir semuanya nyaris melekat di tubuh umat.

Kebangkitan Nasional Indonesia ke depan secara langsung menunjuk Kebangkitan Umat Islam Islam Indonesia, sebab lebih dari delapan puluh lima persen bangsa Indonesia adalah umat Islam, tanpa mengeluarkan (exlusionary) anak bangsa lainnya yang tidak beragama Islam. Artinya kata al Syu’ub al Indunisiy bisa disetarakan dengan al Syu’ub al Arabiy.

Sikap umat Islam Indonesia terhadap nasionalisme semestinya –mengutip Hassan al-Banna- realisasi loyalitas terhadap negara untuk mengembangkan kecintaan, kasih sayang, kebanggaan, dan kesetiaan tanpa merusak kepatuhan terhadap agama.
[14/5/2008]
Sudah dimuat di Harian HAluan, Sabtu, 15 Mei 2008